Mahasiswa USU
Twitter: @mahasiswa_usu
Senin, 22 Juni 2015
Kamis, 04 Desember 2014
Remaja Kudu Sadar Politik
“Waduh politik! Nggak deh !” Itu mungkin komentar remaja atau
bahkan sebagian besar kaum muslim ketika ada pembahasan politik. Apapun
label yang dikasih, bumbu yang diberi, kalo masalah politik, remaja
sekarang cukup geleng kepala dan berpaling muka.
Islam adalah agama yang nggak bisa diceraikan dari politik (baca: negara). Itu sebabnya, Imam al-Ghazali berkata: “agama
dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas)
dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi
niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya
akan hilang lenyap.” (dalam kitabnya al-Iqtishad fil I’tiqad hlm. 199)
“Tapi bukannya sekarang, ketika politik dicampur agama, malah rusak?!”
Salah, itu realitas praktik politik sekular. Politik yang kita maksud
bukan sekedar bicara seputar ‘perebutan kekuasaan’, layaknya sekarang
yang dilakuin para politisi/parpol. Politik yang kita maksud disini
adalah ri’ayah syu-unil ummah, alias pelayanan urusan umat. Jadi meliputi apa yang terkait dengan umat.
Sebagai bukti kalo Islam nggak bisa diceraikan dari politik, bisa
kita simak dari pendapat ulama serta kitab mereka. Misalnya buku fiqih Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid memuat bab Al Khilafah. Kitab Fiqh besar Al Umm
karya Imam As Syafii r.a. membahas secara rinci tentang berbagai fiqh
muamalat, jinayat, jihad, penaklukan dll. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani,
menulis rinci dan sistematis pengaturan Islam dalam politik, di kitab
seperti Nizhamul Hukm fil Islam.
Secara realitas pun kehidupan kita nggak bisa dipungkiri, selalu
bersentuhan dengan politik. Coba perhatiin kita hidup di sebuah negeri,
yang udah pasti negeri yang kita huni ini, mengaturnya dengan sistem
politik. Kalo kita didholimi oleh penguasa atau pemegang kebijakan
sebuah negeri, maka apa kita diam aja? Maka mengoreksi penguasa adalah
aktivitas politik.
Nggak salah kalo kemudian Rasulullah Saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya:
“Barangsiapa bangun di waktu subuh (pagi), tidak memikirkan
masalah kaum muslimin, maka dia bukan termasuk golongan kaum muslimin” (HR. Ahmad)
Hadist di atas dan juga nash yang serupa, mengarah kepada satu ‘nafas’ care
alias kepedulian. Ruh ‘kepedulian’ yang dilandasi aqidah Islam akan
mengarahkan seorang muslim untuk ikut ‘memperhatikan nasib orang lain’.
Berangkat dari situ, maka politik yang artinya ri’ayah syu-unil ummah, pelayanan urusan umat, menjadi suatu hal yang penting dan nafas yang mentajasad alias nyatu dalam tubuh kaum muslim.
Dalam sebuah riwayat, Khalifah Umar bin Khaththab berpidato di
hadapan kaum muslimin. Usai berpidato seorang pemuda berdiri sambil
mengacungkan pedang, lalu berteriak, “Wahai Umar, apabila kami melihat engkau menyimpang, kami akan meluruskanmu dengan pedang ini.”
Umar yang mendengar pernyataan tadi kontan mengucapkan hamdalah.
Ternyata masih ada manusia, tepatnya pemuda, yang berani mengungkapkan
kebenaran.
Riwayat yang singkat ini bisa memberikan gambaran yang jelas kepada
kita pekatnya suasana kehidupan berpolitik dalam Islam. Inilah aktivitas
muhasabah lil hukam alias mengoreksi penguasa atau amar ma’ruf nahyi munkar, yang merupakan salah satu aktivitas politik.
So, masalahnya ada pada ‘pembiasaan’ aja. Karena remaja ‘kurang
biasa’ dengar istilah Islam politik, politik Islam maka remaja jadi
alergi politik. Remaja ‘lebih biasa’ hidup di alam sekular serba
instant, maka akhirnya mereka menjauh dari pembahasan politik. Jika
pembahasan politik (yang benar) secara simultan dilakukan di sekolah,
majelis taklim, khotbah, maka masyarakat akan terbiasa dengan politik
Islam. Langkah pembiasaan tersebut nggak ada cara lain, kecuali dengan
menanamkan pemahaman (mafhum) yang benar tentang Islam secara umum dan politik secara khusus. Maka pembinaan (tasqif) adalah sebuah keharusan yang penting dan mendesak, kita lakukan sekarang juga, jangan ditunda!
Konsultasi Kenakalan Remaja : Putus Dengan Baik Gimana Ya?
Maaf langsung saja ya, beberapa bulan yang lalu, saya kenalan dengan seorang cowok melalui chating
yang usianya 3 tahun lebih tua dari saya. Kakak (itu panggilan saya)
dia juga mahasiswa yang waktu itu banyak bantu saya registrasi.
Saya makin bingung tentang hubungan kami. Jujur aja dia sudah sangat
membantu, atau kasih nasehat, karena saya memang agak sering curhat ama
dia. Sekedar telepon, tanya kabar atau cuma ngobrol yang kayaknya nggak
begitu penting, bercanda.
Saya yakin dia tahu sebatas mana seharusnya hubungan antara
ikhwan-akhwat, dan saya juga tahu itu, tapi entah kenapa saya malah
bingung harus bagaimana. Saya benar-benar ingin menjadi muslimah yang
taqwa yang bisa menjaga hati. Sungguh saya ingin mengakhirinya dengan
cara baik-baik, tapi saya nggak tahu gimana caranya.
Kalau nggak saya, dia yang miscall ngebangunin qiyamul lail. Dia itu sudah sangat baik seperti kakak sama adiknya. Saya mohon bantuan penjelasannya ustadz. Wassalamulaikum
Pengirim: Zahra
Jawab:
- Kita harus menyadari hidup sebagai muslim. Kesadaran ini penting, karena siapa sih yang bisa hidup selamanya? Tidak ada, maka kesadaran ini kaitannya dengan konsekuensi akhirat, karena itu jangan hanya sekedar mencari kesenangan hidup, dengan senang dan bangga diperhatikan oleh lawan jenisnya.
- Tentang interaksi dengan lawan jenis, awalnya mungkin biasa aja, sekedar say hello, membantu ini dan itu. Akhirnya berlanjut pembiasaan dan toleransi kesalahan yang dianggap biasa, seperti menganggapnya sebagai kakak, teman, atau saudara. Padahal nggak ada hubungan darah (silah) sama sekali.
- Lalu kenapa sampe segitu? Maksudnya koq bisa akhirnya kalian menganggap interaksi kalian biasa dan enggan menyebutnya sebagai dosa. Itu karena:
- Pertama: kalian mentoleransi kesalahan kecil yang terkait
hubungan lawan jenis. Sekedar telepon, tanya kabar, ngobrol nggak
penting, adalah kebiasaan yang nggak perlu antar lawan jenis, bahkan
bisa cenderung dan terjerumus pada dosa. Ingat kalian lawan jenis, pasti
akan ada daya tarik menarik diantara kalian berdua.
- Kedua: kalian mengandalkan perasaan, artinya hubungan kalian
berdua lebih diukur dengan perasaan bukan pemikiran apalagi hukum
syariat. Sehingga dengan standar perasaan, menurut kalian curhat dengan
lawan jenis itu lebih enak. Padahal itu mitos yang nggak bener dan
secara pelan tapi pasti, syetan sudah ikut bermain disitu.
- Ketiga: kalian harus ingat bahwa fakta itu mempengaruhi
naluri, ada pepatah jawa bilang ‘witing tresno jalaran teko kulino’,
alias karena keseringan akhirnya keenakan dan kalian jatuh cinta. Pada
saat itulah, pikiran waras jadi terbuang.
- Hubungan laki-perempuan di dalam syariat Islam, sudah ada aturannya. Dan kalau dianalogikan, aturan-aturan pergaulan itu seumpama garis layaknya permain bola. Nah, aturan sudah dibuat, tinggal kontrolnya saja. Kalo dalam permainan bola ada wasit yang ngasih peringatan (peluit, kartu merah, kartu kuning), maka bagi interaksi kita ciptakan wasit. Itulah yang ketinggalan dari diri kalian, ketika kalian berdua berhubungan meski kalian yang merasa paham akan hukum interaksi dengan lawan jenis, tapi kalian lupa dengan wasit. Wasit itu sebenarnya bisa Allah atau aturan pergaulan itu sendiri. Atau kalau kalian serius berhubungan, harusnya ada makcomblang yang paham hukum interaksi.
- Ada hal diluar diri kalian, yang senantiasa juga membuat orang-orang di sekitar kita, tak terhindar untuk berbuat seperti kalian. Apa itu? Ya, adalah lingkungan permisif, masyarakat yang individualis, dan karena nggak ada dakwah Islam. Artinya, seorang berbuat salah/pelanggaran bisa jadi juga karena pengaruh atau dipanas-panasin oleh lingkungannya. Orang seperti kalian yang berhubungan dengan lawan jenis yang karena pengaruh lingkungan juga banyak. Maka dari itu, jika ingin merasakan bagaimana nyamannya berinteraksi dengan lawan jenis yang Islami, maka dakwah Islam harus kita jalankan.
- Nah, bagi orang yang tahu hukum, seperti kalian saja sudah berani melanggar, maka ibaratnya seperti pemain bola yang curang, alias nggak jujur, maka itu awal dari sebuah bencana. Apalagi kalau dilanjutkan dengan mengatakan “sudah mulai jatuh cinta”, sudah terlanjur mendalam, menganggap dia sudah sangat baik, pengertian banget”, dan seterusnya. Itu berarti kalian sudah menganggap enteng sebuah dosa. Padahal tidak ada dosa yang besar, kalau tidak berawal dari pengabaian kita dari dosa-dosa kecil.
- Lalu solusinya apa? Ya, solusi untuk kalian cuman ada satu, PUTUS. Langkahnya?
- Saling intropeksi diri terhadap kesalahan, pelanggaran, lakukan pertaubatan.
- Berpikir positif, positif dan positif. Anggap ini sebagai ujian hidup yang punya 2 dampak yang baik, yakni menghapus dosa dan menaikan derajat dihadapan Allah.
- Menyesali itu semua, komitmen kepada Allah, untuk tidak mengulangi. Kalo perlu dikrarkan dan ada saksinya, meskipun sebenarnya Allah sudah cukup jadi saksi.
- Lebih mendalami Islam lagi, karena perbuatan seseorang itu dibentuk karena mafahim yang dimiliki, sementara mafahim itu dibentuk dari kita memahami Islam dengan mengikuti kajian-kajian Islam.
- Lalu sampaikan dan katakan dengan jujur, baik-baik kepadanya, bahwa kalian berdua ingin mengakhiri hubungan ini. Jangan lagi berkompromi dengan dosa. Ingat, pada saat menyampaikan ini abaikan perasaan, pakailah pemikiran.
Langganan:
Postingan (Atom)