Seorang remaja, idealnya menjadi mutiara
harapan di masa mendatang. Namun harapan ini seolah semakin menipis
bahkan jauh dari pandangan mata dan sirna. Bagaimana tidak, semakin hari
semakin banyak ulah remaja dari yang sedikit nakal hingga brutal.
Banyak diberitakan remaja di kota
Bandung yang belum memiliki SIM di jalan raya seringkali membahayakan
diri sendiri ataupun pengendara lainnya. Seperti Nurjanah (16), penduduk
Moh. Sari RT 04/RW 02 Kel. Sindang Jaya, Kec. Mandalajati, Kota Bandung
(2 Mei 2014) dan pelajar, Wafa Amali Fauzan (15) tewas dalam kecelakaan
di Jalan Raya Batujajar, Cimahi, Jawa Barat. Wafa yang saat kejadian
mengendarai sepeda motor mengalami kecelakaan saat sedang menyalip truk
yang ada di depannya (www.klik-galamedia.com, 2014). Beberapa hari
sebelumnya polisi melakukan pengejaran terhadap remaja-remaja yang
sedang asyik melakukan balap liar di jalan raya Jatinangor-Sumedang.
Tingkah laku liar remaja juga tampak
pada seratusan pelajar SMK dari Lebak, Banten. Mereka diamankan polisi
karena terlibat tawuran di kawasan terminal Kadubanen dengan pelajar SMK
Pertanian, di Polres Pandeglang, Banten, Sabtu (26/4/2014). Dari tangan
mereka ditemukan gir rantai, senjata tajam dan bom Molotov
(www.metrotvnews.com,2014). Bahkan kini kasus tawuran sudah tidak lagi
menjadi barang langka di berbagai belahan Nusantara.
Kisah geng motor pun tak habis-habisnya.
Di bulan Maret diantaranya ada geng motor yang merusak mobil dan
memuukuli seorang guru di Bendungan Hilir serta ulah geng motor yang
memanah Ajudan Kapolrestabes Makassar. Sedangkan di bulan April kisah
tragis akibat geng motor dialami seorang wartawan di Makasar juga
dialami seorang polisi di Dumai hingga babak belur (www.liputan6.com).
Sedangkan di Makassar, Metrotvnews.com
memberitakan tim khusus gabungan berantas geng motor berhasil menangkap
seorang anggota geng motor dengan sejumlah anak panah di jalan Veteran
Utara, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (26/4/2014).
Kebrutalan remaja pun semakin berwarna.
Metrotvnews.com (25/4/2014) melansir berita tentang pembobolan ATM Bank
Muamalat di Desa Sumberejo, Kecamatan Banyuputih oleh seorang siswa
salah satu SMK di Situbondo, Jawa Timur. Pelajar ini melakukan aksinya
dengan cara mematikan aliran listrik sebelum transaksi ATM selesai dan
mampu membobol uang dari mesin ATM sebesar Rp. 370 juta.
Itulah secuil potret remaja masa kini,
yang tampak buram dan menghitam. Seperti pernyataan Menteri Hukum dan
HAM (Menkumham), Amir Syamsuddin di Pekanbaru bahwa data yang diperoleh
sampai pada Maret 2014 sebanyak 3.323 anak yang berumur kurang dari 16
tahun menjadi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di
Indonesia karena terlibat berbagai tindak pidana (ANTARA News,2014).
Menurut beliau, kondisi tersebut menggambarkan bahwa kejahatan yang
dilakukan oleh anak-anak sudah sangat mengkhawatirkan. Untuk itu,
diperlukan upaya penanganan yang sangat serius terhadap kejahatan yang
dilakukan oleh kalangan anak.
Amir Syamsuddin menawarkan solusi untuk
mengatasi kriminalitas remaja ini dengan keadilan restoratif dan proses
diversi. Menurut beliau masalah keadilan restoratif merupakan suatu
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan semua pihak untuk
bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya lebih baik dengan menekankan pemulihan kembali
pada pelaku kejahatan golongan anak. “Kembalikan sifat mereka seperti
semula dan bukan malah pembalasan. salah satu bentuknya adalah
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana atau yang dikenal dengan proses
diversi,” kata dia.
Sepintas solusi ini logis dan manusiawi.
Tetapi permasalahannya adalah batasan remaja itu sendiri masih kurang
jelas. Selama ini remaja dianggap sebagai usia transisi antara anak-anak
dan dewasa. Dalam Wikipedia disebutkan Remaja adalah waktu manusia
berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak dapat disebut
sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Masa remaja
adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa. Remaja
merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan
antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.
Menurut Sri Rumini & Siti Sundari
(2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa
dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek / fungsi untuk memasuki
masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan
21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.
Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah: Masa
peralihan di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak
mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun
perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan
ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa
yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa
remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara
masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,
dan sosial-emosional.
Batasan usia remaja yang umum digunakan
oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Akan sangat aneh bila
seorang remaja dengan usia 21 tahun melakukan kriminal atau 16 tahun
yang selama ini diberlakukan karena belum memiliki KTP dianggap seperti
anak-anak? Pantaskah mereka disejajarkan dengan anak? Mereka dikatakan
bukan anak-anak tapi mengapa tindakan yang dilakukan terhadap mereka
perlakuan untuk anak-anak? Padahal sebagian besar dari mereka dipastikan
sudah baligh dan berakal.
Baligh dan berakal adalah batasan yang
jelas yang diberikan oleh Allah Sang Maha Pencipta. Dalam Ensiklopedia
Islam disebutkan akil baligh adalah seseorang yang sudah sampai pada
usia tertentu untuk dibebani hukum syariat (taklif) dan mampu mengetahui
atau mengerti hukum tersebut. Orang yang berakal adalah orang yang
sehat sempurna pikirannya, dapat membedakan baik dan buruk, benar dan
salah, mengetahui kewajiban, dibolehkan dan yang dilarang,serta yang
bermanfaat dan yang merusak.
Adapun tanda-tanda baligh, pertama,
apabila seorang anak perempuan telah berumur sembilan tahun dan telah
mengalami haidh (menstruasi). Artinya apabila anak perempuan mengalami
haidh (mentruasi) sebelum umur sembilan tahun maka belum dianggap
baligh. Dan jika mengalami (haidh) mentruasi pada waktu berumur sembilan
tahun atau lebih, maka masa balighnya telah tiba. Kedua, apabila
seorang anak laki-laki maupun perempuan telah berumur sembilan tahun dan
pernah mengalami mimpi basah (mimpi bersetubuh hingga keluar sperma).
Artinya, jika seorang anak (laki maupun perempuan) pernah mengalami
mimpi basah tetapi belum berumur sembilan tahun, maka belum dapat dikata
sebagai baligh. Namun jika mimpi itu terjadi setelah umur sembilan
tahun maka sudah bisa dianggap baligh. Ketiga, apabila seorang anak baik
laiki-laki maupun perempuan telah mencapai umur lima belas tahun (tanpa
syarat). Maksudnya, jika seorang anak laki maupun perempuan telah
berumur lima belas tahun, meskipun belum pernah mengalami mimpi basah
maupun mendaptkan haid (menstruasi) maka anak itu dianggap baligh
(www.nu.or.id,2014)
Seseorang yang sudah baligh dibebani
hukum syarak apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh
dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti
hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah.
Rasulullah SAW bersabda, “Diangkatkan
pena (tidak dibebani hukum) atas tiga (kelompok manusia), yaitu
anak-anak hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila
hingga sembuh.” (HR Abu Dawud).
Jadi jelaslah justru seharusnya
dilakukan peradilan pidana bagi seorang yang dianggap remaja yang sudah
baligh dan berakal. Bukan dengan keadilan restoratif dan proses diversi
yang akan membuat pelaku kriminal tidak jera dan asyik terus melakukan
kejahatannya.