“Waduh politik! Nggak deh !” Itu mungkin komentar remaja atau
bahkan sebagian besar kaum muslim ketika ada pembahasan politik. Apapun
label yang dikasih, bumbu yang diberi, kalo masalah politik, remaja
sekarang cukup geleng kepala dan berpaling muka.
Islam adalah agama yang nggak bisa diceraikan dari politik (baca: negara). Itu sebabnya, Imam al-Ghazali berkata: “agama
dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas)
dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi
niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya
akan hilang lenyap.” (dalam kitabnya al-Iqtishad fil I’tiqad hlm. 199)
“Tapi bukannya sekarang, ketika politik dicampur agama, malah rusak?!”
Salah, itu realitas praktik politik sekular. Politik yang kita maksud
bukan sekedar bicara seputar ‘perebutan kekuasaan’, layaknya sekarang
yang dilakuin para politisi/parpol. Politik yang kita maksud disini
adalah ri’ayah syu-unil ummah, alias pelayanan urusan umat. Jadi meliputi apa yang terkait dengan umat.
Sebagai bukti kalo Islam nggak bisa diceraikan dari politik, bisa
kita simak dari pendapat ulama serta kitab mereka. Misalnya buku fiqih Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid memuat bab Al Khilafah. Kitab Fiqh besar Al Umm
karya Imam As Syafii r.a. membahas secara rinci tentang berbagai fiqh
muamalat, jinayat, jihad, penaklukan dll. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani,
menulis rinci dan sistematis pengaturan Islam dalam politik, di kitab
seperti Nizhamul Hukm fil Islam.
Secara realitas pun kehidupan kita nggak bisa dipungkiri, selalu
bersentuhan dengan politik. Coba perhatiin kita hidup di sebuah negeri,
yang udah pasti negeri yang kita huni ini, mengaturnya dengan sistem
politik. Kalo kita didholimi oleh penguasa atau pemegang kebijakan
sebuah negeri, maka apa kita diam aja? Maka mengoreksi penguasa adalah
aktivitas politik.
Nggak salah kalo kemudian Rasulullah Saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya:
“Barangsiapa bangun di waktu subuh (pagi), tidak memikirkan
masalah kaum muslimin, maka dia bukan termasuk golongan kaum muslimin” (HR. Ahmad)
Hadist di atas dan juga nash yang serupa, mengarah kepada satu ‘nafas’ care
alias kepedulian. Ruh ‘kepedulian’ yang dilandasi aqidah Islam akan
mengarahkan seorang muslim untuk ikut ‘memperhatikan nasib orang lain’.
Berangkat dari situ, maka politik yang artinya ri’ayah syu-unil ummah, pelayanan urusan umat, menjadi suatu hal yang penting dan nafas yang mentajasad alias nyatu dalam tubuh kaum muslim.
Dalam sebuah riwayat, Khalifah Umar bin Khaththab berpidato di
hadapan kaum muslimin. Usai berpidato seorang pemuda berdiri sambil
mengacungkan pedang, lalu berteriak, “Wahai Umar, apabila kami melihat engkau menyimpang, kami akan meluruskanmu dengan pedang ini.”
Umar yang mendengar pernyataan tadi kontan mengucapkan hamdalah.
Ternyata masih ada manusia, tepatnya pemuda, yang berani mengungkapkan
kebenaran.
Riwayat yang singkat ini bisa memberikan gambaran yang jelas kepada
kita pekatnya suasana kehidupan berpolitik dalam Islam. Inilah aktivitas
muhasabah lil hukam alias mengoreksi penguasa atau amar ma’ruf nahyi munkar, yang merupakan salah satu aktivitas politik.
So, masalahnya ada pada ‘pembiasaan’ aja. Karena remaja ‘kurang
biasa’ dengar istilah Islam politik, politik Islam maka remaja jadi
alergi politik. Remaja ‘lebih biasa’ hidup di alam sekular serba
instant, maka akhirnya mereka menjauh dari pembahasan politik. Jika
pembahasan politik (yang benar) secara simultan dilakukan di sekolah,
majelis taklim, khotbah, maka masyarakat akan terbiasa dengan politik
Islam. Langkah pembiasaan tersebut nggak ada cara lain, kecuali dengan
menanamkan pemahaman (mafhum) yang benar tentang Islam secara umum dan politik secara khusus. Maka pembinaan (tasqif) adalah sebuah keharusan yang penting dan mendesak, kita lakukan sekarang juga, jangan ditunda!