Sabtu, 01 November 2014

FSLDK Kampanyekan Februari Sebagai Bulan Menutup Aurat

Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus Indonesia (FSLDK) Indonesia menetapkan Ferbruari 2014 sebagai bulan menutup aurat. Program yang mereka usung adalah Gerakan Menutup Aurat Internasional.
Koordinator Komisi Kemuslimahan FSLDK Indonesia Geubrina Maghfirah menyampaikan, gerakan ini digunakan untuk mengingatkan kembali esensi menutup aurat yang tidak hanya diwajibkan bagi perempuan Muslim, tapi juga laki-laki.
Gerakan Menutup Aurat Internasional ini rencananya akan serentak dilaksanakan 14 Februari mendatang di berbagai kampus di Indonesia. “Acara akan berlangsung hingga 28 Februari, menyesuaikan jadwal akademik tiap kampus,” katanya, Rabu (5/2).
Ini untuk mengimbangi ingar-bingar perayaan hari Valentine yang biasa dilakukan pada 14 Februari. Selain membagikan jilbab, kaus kaki, dan lembar tausiyah, FSLDK juga akan mengajak Muslim yang masih kurang sempurna menutupi badan untuk memperbaiki cara berpakaian.
Misalnya, kata Geubrina, dengan menggunakan celana panjang saat berolahraga. FSLDK Indonesia masih menjajaki kemungkinan kerja sama dengan komunitas Muslimah berjilbab. “Jadi, kegiatan ini akan lebih semarak.”
Sayembara menulis perjuangan Muslimah berjilbab juga akan mulai dibuka pekan ini. Sebanyak 25 tulisan terbaik akan dibukukan dan diterbitkan. Mereka yang ingin berbagi kisah inspiratif tentang jilbab melalui sayembara bisa memantau akun Twitter @fsldkindonesia.
Geubrina mengatakan, mulai Rabu (12/2) hingga Sabtu (15/2), FSLDK menggelar kultwit tentang menutup aurat, bagaimana menutup aurat yang sesuai syariat, serta ajakan untuk menutup aurat tanpa menghakimi siapa pun.
Kultwit akan digulirkan pukul 19.00 WIB hingga 21.00 WIB dengan menggunakan hashtag #YukTutupAurat. LDK Al Hurriyah IPB juga melakukan beberapa kegiatan menjelang Valentine. Termasuk melakukan aksi serentak 1.000 jilbab pada 14 Februari.
Ketua LDK Al Hurriyah Al Amroyanu Habib menuturkan, dakwah soal hijab ditempuh melalui media sosial dan buletin. “Dan, pada 14 Februari, kami bersama lembaga dakwah fakultas membagikan 1.000 jilbab kepada Muslimah di kampus,” katanya.
Selain itu, untuk mahasiswa Muslim, LDK Al Hurriyah akan membagikan cokelat dan komik tentang berpakaian dan menutup aurat. Misalnya, saat bermain bola, mereka dianjurkan untuk menggunakan celana panjang.

MAHASISWA BANDUNG MELAWAN DEMOKRASI


Sabtu, 22 Oktober 2014 Lajnah Khusus Mahasiswa Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Bandung Raya kembali menyelengagarakan Islamic Intellectual Meeting ke-7 yang diselenggarakan di Auditorium Gedung Miracle UNIKOM Bandung. Firmansyah Mahiwa dari pengurus pusat Gerakan Mahasiswa Pembebasan mengenai kondisi mahasiswa saat ini. Mahasiswa sebagai centre class yang merupakan pendorong kelas bawah (rakyat) dan menekan kelas atas (pemerintah). Banyak tulisan-tulisan yang memuat peran strategis mahasiswa adalah sebagai agent of change, social control dan yang lainnya. Hanya saja saat ini banyak kalangan atau pihak yang membajak peran strategis mahasiswa sehingga sikap kritis, idealis dan peran strategis lainnya menjadi tumpul dan pragmatis. Hal ini semakin diperkokoh dengan penerapan demokrasi.

Pada kesempatan berikutnya, Imaduddin Al Faruq dari Muslim Analyze mengenai hakikat demokrasi. Dikatakan bahwa demokrasi muncul dari pertentangan antara kaum bangsawan yang bekerjasama dengan para kaum agamawan dengan kelompok pemikir dan para filosof, hingga akhirnya diambil jalan tengah, dengan mengkompromikan kedua ide yang saling berlawanan itu. Dari Sekularisme kemudian tegak pemerintahan demokrasi diatasnya, yang hingga kini notabene digunakan sebagai alat bagi ideologi kapitalisme. “Maka, jika saat ini masih ada gerakan mahasiswa yang mempertahankan demokrasi bisa dikatakan mereka adalah orang-orang yang terbodohi”, tegasnya menohok.

Adapun Ruston Pirmansyah selaku aktivis BKLDK Jawa Barat memaparkan perbandingan demokrasi dengan Islam. Salah kaprah ketika dikatakan bahwa demokrasi memberikan kebebasan bagi kita untuk menyuarakan berbagai aspirasi saat ini, termasuk Islam. Jadi demokrasi hakikatnya tidak memberikan berkah apapun, karena hukum dan kuasa yang berbicara adalah suara mayoritas. Berbeda dengan demokrasi, di dalam Islam tidak ada kebebasan berpendapat, kepemilikan, keyakinan, maupun tingkah laku. Karena hukum asal perilaku seorang muslim adalah terikat dengan hukum syara’. Secara mendasar demokrasi bertentangan dari Islam.

Materi penutup disampaikan Ipank Fatin Abdullah ketua Lajnah Khusus Mahasiswa Hizbut Tahrir Indonesia Bandung Raya. “Demokrasi secara mendasar bertentangan dengan Islam. Banyak pihak yang menyamakan Islam dengan demokrasi dalam aspek musyawarah. Padahal itu pun punya perbedaan yang sangat besar dengan Islam. Dalam demokrasi, rakyat bisa menerapkan aturan semau mereka. Berbeda dengan Islam, dimana aturan yang harus diterapkan adalah aturan yang lahir dari aqidah Islam”, tandas Ipank. Masih menurut Ipank, demokrasi merupakan sistem yang dipaksakan ke dunia Islam dan tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada negeri-negeri kaum muslim untuk bisa menerapkan Islam secara menyeluruh. “Dengan demikian untuk menerapkan Islam tidak bisa melalui jalan demokrasi, karena akan senantiasa terjebak dengan jebakan-jebakan yang dibuat oleh demokrasi”, tegasnya menutup. [] MI Bandung.

Selamatkan Pendidikan Indonesia Membangun Generasi Emas Dengan Syariah


Selamatkan Pendidikan Indonesia
Membangun Generasi Emas Dengan Syariah

Tanggal 2 Mei sudah rutin diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Semenjak kemerdekaan di negeri ini dideklarasikan pada 17 Agustus 1945., Pendidikan untuk rakyat yang berkeadilan sepertinya hanyalah mimpi. Dari berbagai masalah pendidikan meliputi kebutuhan dasar hingga dalam fasilitas pendidikan telah membentuk kesenjangan dalam dunia pendidikan.
Permasalahan muncul silih berganti. Kurikulum yang berganti, Ujian Nasional yang bocor, hingga mahalnya pendidikan hari ini telah memberikan masa suram bagi pendidikan anak bangsa. Bahkan, hasil pendidikan yang sekuler dan materialistik telah melahirkan generasi bangsa yang rusak. Lihatlah betapa banyak Koruptor, bertambahnya kasus asusila, kejahatan hingga pembunuhan. Puncaknya adalah menuju Negara Gagal.
Untuk itu, menyimak dan memperhatikan permasalahan pendidikan yang ada, bila masih bertahan pada Sistem pendidikan hari ini maka jangan harap ada perubahan ke arah lebih baik. Generasi emas tak akan lahir dari aturan yang memisahkan antara Agama dan dunia ini. Maka untuk itu kami menyerukan:
  1. Menyerukan kepada seluruh mereka yang terlibat pada Dunia Pendidikan dari hulu hingga ke hilir, hendaknya Islam yang menjadi satu-satunya rujukan. Islam-lah yang menjadi metode pendidikan dan sistem pendidikan hari ini.
  2. Membangun karakter para pendidik dan anak didik harus bertitik-tolak kepada Syariah. Sebab karakter yang tidak melibatkan Islam, hanya akan melahirkan kegagalan generasi.
  3. Kesejahteraan dunia Pendidikan hanya bisa dibangun dengan landasan Islam. Karena Islam bersumber dari Allah SWT. Yang berhak mengatur manusia. Tentu semuanya, tak bisa dipisahkan dari sistem aturan yang terintegrasi. Sehingga Penerapan Syariah secara sempurna dan Penegakkan Khilafah adalah kebutuhan yang mendesak.
Semoga poin-poin di atas, akan melahirkan generasi emas sekaligus negara berkualitas.

Bandung, 1 Mei 2014
Rizqi Awal
Ketua BE BKLDK Nasional
Email: picteam.training@gmail.com website: www.dakwahkampus.com

Cara Pemuda Muslim Berpolitik

Pemilihan umum untuk menentukan para anggota legislatif dan presiden yang akan menduduki kancah perpoltikan Indonesia selama lima tahun ke depan telah dan akan dilaksanakan. Hingga saat ini pun berbagai metode kampanye tengah gencar-gencarnya dilaksanakan. Mulai dari acara blusukan, umbaran janji, bahkan money politik pun giat dijalankan demi tebar pesona dan menarik simpati. Tentu saja, golongan masyarakat dengan jumlah terbanyak lah yang dijadikan sasaran empuk.
Pemuda adalah komponen masyarakat yang sangat strategis, selain pemikirannya yang kritis, kaum pemuda cenderung kreatif dan enerjik dalam menanggapi suatu problematika. Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Selain itu adanya sebuah pernyataan bahwa masa depan terletak di genggaman para pemuda. Artinya, baik buruknya suatu umat di masa datang di tentukan oleh baik buruknya pemuda di masa kini. Hal tersebutlah yang menjadi barometer dan standarisasi dalam pembinaan dan mendidik generasi muda untuk melanjutkan estafet perjuangan.
Bagaimanapun peran serta pemuda bagi bangsa sangat penting. Upaya pemuda merupakan salah satu bukti bahwa pemuda adalah agen perubahan bangsa. Banyak orang mengaggap bahwa pemuda adalah calon-calon pemimpin yang memiliki pemikiran yang cerdas. Namun, banyak pula para remaja yang salah mengambil sikap akan perannya di kancah perpolitikan. Tak sedikit pemuda yang bersikeras mengorbankan harta untuk berhasil menduduki “kursi Senayan”. Namun tak lama setelah mereka berkecimpung dalam sistem yang berlaku saat ini, harta menjadi objek prioritas mereka.
Jika kita memandang politik hanya dari sudut pandang yang demikian -kekuasaan, jabatan, harta- maka tentulah politik dianggap sebagai suatu hal yang kotor. Namun tidak dari sudut pandang Islam. Bukan berarti Islam membenarkan politik hanya untuk perebutan kekuasaan dan jabatan, melainkan Islam memiliki pandangam tersendiri terhadap politik.
Politik dalam Islam lebih kepada suatu metode yang digunakan untuk mengurus kegiatan ummat sebagai usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari’at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. Pengertian ini sesuai dengan firman Allah yang artinya:
“Dan katakanlah: Ya Tuhan ku, masukkanlah aku dengan cara yang baik dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik dan berikanlah kepadaku daripada sisi Mu kekuasaan yang menolong.” (TQS. AI-Isra’ : 80).
Di atas landasan inilah para ‘ulama’ menyatakan bahawa: “Allah menghapuskan sesuatu perkara melalui kekuasaan negara apa yang tidak dihapuskan-Nya melalui al-Qur’an”.
Bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang merujuk kepada syariat. Konstitusinya tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum syariat yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan dijelaskan Sunnah Nabawy, baik mengenai aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah maupun berbagai macam hubungan. Oleh karena itu hukum yang berlaku harus selalu bersumber dan merujuk kepada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian pemerintahan yang dipimpin oleh seorang ulil amri yang dipilih oleh rakyat, untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan guna terciptanya kondisi masyarakat yang sehat (moral dan fisik) serta kesejahteraan baik bagi ummat muslim maupun non-muslim. Dengan demikian, melalui sudut pandang Islam, politik merupakan media yang tepat untuk menegakkan syariat dan dakwah.
Berbeda dengan sistem yang berlaku saat ini terutama di Indonesia. Sistem liberal yang yang digunakan pemerintah makin giat menggerogoti tubuh-tubuh ummatnya sendiri. Lantas para pemimpin makin giat pula memperlakukan rakyatnya bak sapi perah. Namun, kita seakan menutup mata akan kenyataan ini.
Sebagai pemuda muslim, hendaknya kita perlu berpikir secara cerdas dan mendalam mengenai peran kita dalam perubahan negeri ini. Bukan berarti kita harus ikut serta menduduki kursi DPR dan membuat peraturan sendiri, bukan pula dengan menggadang-gadangkan calon yang menurut kita baik, namun dengan kemerosotan negeri ini yang kian kini kian memburuk menunjukkan bahwa kesalahan bukan terletak pada siapa yang memimpin, melainkan dengan cara dan sistem yang seperti apa kita dipimpin. Terbukti dari dengan sekian banyaknya golongan yang pernah memimpin Indonesia, tak ada satupun yang mampu membawa Indonesia ke titik terang.
Ada banyak kesempatan untuk melakukan perubahan. Jika kita terus diam dan cenderung menerima atas apa yang terjadi, maka tunggulah titik jenuhnya yang saat ini seperti bom waktu. Satu-satuya cara adalah dengan memilih untuk menjadi pemain yang turut aktif bergerak, atau penonton yang hanya duduk dan bersorak ria?! Keputusan ada di tangan kita sebagai kaum muda dalam memaknai peran kita di dunia perpolitikan sebagai agen perubahan. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga ia merubah nasibnya sendiri?! Wallahu a’lam bissawwab.

Peran Mahasiswa dalam Membangun Peradaban

Mahasiswa yang dalam perkembangannya merupakan salah satu pihak yang tentu paling banyak melakukan kontribusi perubahan bagi berkembangnya suatu negara, melalui pemikirannyalah ia akan selalu menjadi harapan peradaban yang tentu dicita-citakan ummat. Agent of change dan social of control adalah fungsi yang tak pernah lepas dari pundak dan perjuangan mahasiswa, sungguh menarik tatkala membahas mahasiswa sebagai salah satu pilar peradaban, yang kapasitasnya tentu memberikan pengaruh pada sejarah peradaban.
Namun semua citra mahasiswa tersebut tergusur oleh fakta mahasiswa dan mahasiswi di era ini, yang pada faktanya mereka lebih memilih diam dan apatis terhadap persoalan yang dihadapi umat hari ini, sungguh memprihatinkan tatkala perannya sebagai agen perubahan ia kuburi dalam kamus kehidupannya dan memilih hedonisme sebagai bagian aktivitasnya, dan pada akhirnya terjebak dalam permainan-permainan barat yang tentu menghasilkan budaya-budaya bernilai kufur, seperti pergaulan bebas, free sex, dll.
Di sisi lain, ada juga gambaran mahasiswa yang rela menggadaikan intelektualnya demi pragmatisme politik murahan, sehingga yang terjadi adalah retorika penuh tipu-tipu ramai di tengah jalan demi pesan politikus politikus kotor produk demokrasi sekuler.
Maka, sudah saatnya mahasiswa sadar bahwa di tengah-tengah kehidupan dunia saat ini ada sebuah simpul masalah besar yang membutuhkan perubahan hakiki melalui perjuangan peran mahasiswa dalam memainkan fungsi agen of change dan social of controlnya, yang semua itu dilakukan oleh intelektualnya sebagai mahasiswa muslim yang sadar dengan kerusakan yang ada, dan aqidah serta ideologinya menjadi penggerak untuk menegakkan ideologi Islam.

Antara Malala dan Zulfiyya Amonova

Respons dunia kepada Zulfiyya bertolak belakang dengan respon yang diberikan kepada Malala Yousafzai.
Nama Zulfiyya Amonova tentu bukan siapa-siapa dibanding Malala Yousafzai. Nama yang disebutkan terakhir ini adalah penerima penghargaan  Sakharov, yakni sebagai pejuang hak asasi manusia dari Uni Eropa 2013 lalu. Ini setelah remaja dari Pakistan itu diserang orang-orang bersenjata pada 2012, karena mengampanyekan pendidikan untuk anak-anak perempuan.
Malala dianggap sebagai simbol perlawanan seorang Muslimah atas apa yang mereka sebut pengekangan terhadap hak-hak anak-anak perempuan. Malala ditahbiskan sebagai pahlawan pembela HAM oleh Barat. Saat ini, hidupnya bergelimang ketenaran dan materi berkecukupan di Inggris. Malala bak selebritas, kerap diundang berbicara di berbagai forum sebagai corong kepentingan Barat. Suaranya senantiasa diekspos media-media di dunia.  Lalu siapa Zulfiyya Amonova?
Pembela Islam
Sepi pemberitaan, kisah hidup Zulfiyya berbanding terbalik dengan Malala. Zulfiyya adalah putri dari seorang anggota Hizbut Tahrir Amaanov Hamidullah yang tinggal di Kota Osh, Uzbekistan. Ayahnya ditangkap penguasa tiran negara itu, saat Zulfiyya baru berusia 5 tahun. Di dalam penjara selama 14 tahun, sang ayah mendapatkan penyiksaan, hingga tahun lalu dikabarkan meninggal. Keluarganya tidak pernah menerima jasad sang syuhada.
Bagaimana guncangnya jiwa Zulfiyya mendapati kenyataan itu, tak menyurutkannya untuk semakin mencintai Islam. Putri sang mujahid ini terus mempelajari ilmu fiqih bersamaan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dia menghafal Alquran dengan tekun dan sepenuh hati.
Tak ketinggalan, ia mempelajari berbagai bahasa termasuk bahasa Arab. Sampai hari naas itu tiba. Tepat 31 Maret 2014 lalu, pasukan khusus Kirgistan menangkap Zulfiyya di Osh.
Rupanya pasukan khusus Karimov meminta bantuan pasukan khusus Kirgistan untuk memburu keluarga mujahid Hamidullah.  Mereka terus mengusik kehidupan keluarga ini setelah syahidnya Hamidullah. Pasalnya, pihak keluarga terus menuntut para penindas Kirgistan dan Uzbekistan untuk melakukan investigasi guna memastikan kondisi meninggalnya putra mereka. Tentu saja keluarga sangat menginginkan jasadnya diserahkan kepada mereka.
Zulfiyya pun turut andil dengan mendekati pihak-pihak ketiga untuk mengungkap kejahatan para rezim tiran dan mengekspos kebohongan-kebohongan mereka. Inilah yang menjadi penyebab kekejaman dan kemarahan rezim pemerintahannya yang membalasnya dengan menangkap Zulfiyya.
Selama beberapa bulan terakhir rezim Kirgistan yang kriminal melancarkan sebuah kampanye gila-gilaan yang menunjukkan penangkapan para anggota Hizbut Tahrir. Puluhan anggota Hizbut Tahrir ditangkap di sekitar daerah Narienskaya, Batekinskaya, Tcheskaya, Bishkek, dan Usha. Aksi kebejatan rezim penindas ini tidak mengecualikan perempuan dan anak-anak.
Termasuk, menangkap Zulfiyya dan menahannya di sebuah lokasi yang tidak diketahui dan tak satu pun yang tahu bagaimana nasib dirinya hingga kini. Ironisnya, dunia pun sepi merespons tragedi ini. Tak ada pembelaan dari siapapun, kecuali para pejuang syariah dan khilafah di berbagai belahan dunia yang menuntut pembebasannya. Sementara para pendekar hak asasi manusia pun seolah sakit gigi. PBB juga tak peduli. Bahkan Malala Yousafzai yang gembar-gembor membela hak-hak anak perempuan pun diam seribu bahasa.
Dorongan Ideologi
Respons dunia kepada Zulfiyya bertolak belakang dengan respon yang diberikan kepada Malala Yousafzai. Waktu itu, Malala dijamu oleh tokoh-tokoh media, politisi dan para pemimpin Barat karena kepahlawanannya. Hingga kini, Malala pun menjadi corong propaganda isu-isu Barat terkait hak asasi manusia dan nasib anak-anak perempuan.
Sementara Zulfiyya, tentu saja diabaikan karena tidak membawa kepentingan Barat apapun. Bahkan Zulfiyya adalah ikon pembela Islam dan penentang ideologi Barat itu sendiri. Zulfiyya adalah salah satu dari jutaan anak-anak di berbagai belahan dunia yang kehidupannya hancur selama dekade terakhir karena kepentingan rezim sekuler yang ketakutan eksitensinya terancam.
Itu sebabnya wajar jika dunia “menyembunyikan” Zulfiyya. Tidak ada media yang mengesposnya, tidak ada lembaga atau siapapun membelanya. Zulfiyya berbeda ideologi dengan Malala, meski sejatinya Malala juga seorang Muslimah. Padahal seharusnya Malala sadar, bahwa dia hanyalah korban eksploitasi Barat dan menjadi alat propaganda politik yang potensial untuk dimanfaatkan para pendukung sekulerisme.
Seharusnya Malala menunjukkan simpatinya yang mendalam terhadap nasib Zulfiyya. Tunjukkan pembelaan dan tuntutan atas pembebasan saudaranya Zulfiyya. Malala harusnya turut berada dalam barisan Muslimah yang memperjuangkan Islam, bukan ikut melanggengkan sistem sekuler yang notabene justru menjadi biang kerok terabaikannya hak-hak anak-anak perempuan di berbagai negeri Muslim.
Bebaskan dengan Khilafah
Zulfiyya adalah simbol perjuangan seorang Muslimah masa kini. Tak takut dan gentar melawan tirani, meski nyawa taruhannya. Penangkapan seorang gadis belasan tahun ini, menunjukkan ketakutan berlebihan Barat atas ideologi Islam. Sungguh tidak gentleman jika ketakutan itu ditunjukkan dengan merampas hak hidup seorang gadis belia yang semata-mata menyuarakan kebenaran.
Padahal seharusnya Barat berkaca, betapa keburukan dan kehancuran akibat penerapan ideologi sekuler telah semakin nyata di depan mata. Barat seharusnya berpikir jernih dan legowo menerima kenyataan akan tanda-tanda kehancurannya ini. Berpikirlah dengan jernih bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan dunia ini kecuali bangkitnya ideologi Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Janganlah menjadikan Islam sebagai musuh, karena kalian kelak juga akan terselamatkan oleh Islam. Ya, Khilafah Islamiyahlah yang akan mengentaskan kalian dari kebobrokan ini. Lantas mengapa masih juga tak mau membuka mata dan hati untuk menerima kebenaran Islam? Justru semakin paranoid dengan membabi buta membasmi para pejuang Islam?
Maka, tak ada gunanya kalian membungkam suara gadis kecil ini. Kebenaran tidak akan terbendung hanya dengan penangkapan Zulfiyya. Masih banyak Zulfiyya-Zulfiyya lain di berbagai belahan dunia yang akan terus melawan kekejian kalian. Jika kalian tak juga membebaskan Zulfiyya saat ini juga, niscaya Khilafah akan membebaskannya atau kalian binasa karena ketentuan Allah SWT. Wallahu’alam.

Kuota Perempuan di Parlememen dan Kesejahteraan

Kebijakan Afirmasi dan Komposisi Perempuan Pasca Pileg 2014
Dunia politik masih diyakini kalangan feminis sebagai dunia yang arogan dan patriarkis. Akibatnya, komposisi perempuan di lembaga perwakilan tidak seimbang dengan jumlah penduduk perempuan. Sehingga keputusan yang dikeluarkan parlemen masih dianggap diskriminatif bagi perempuan. Di Indonesia, jumlah perempuan yang duduk di parlemen sejak Pemilu 1955 sampai 1999 hanya 13 persen. Bahkan satu dasawarsa setelahnya, tidak mampu mendongkrak kenaikan yang signifikan.
Pada pemilu legislatif 2009, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya 108 atau sekitar 18 persen. Sedangkan di DPRD provinsi 16 persen, di DPRD kabupaten dan kota 12 persen. Padahal jumlah pemilih perempuan dalam Pemilu 2009 mencapai 57 persen dari 171 juta pemilih.
Maka kebijakan afirmasi (affirmative action) atau kebijakan yang bersifat mendorong perempuan dalam bidang politik diterapkan untuk mengatasi masalah itu. Di Indonesia, gerakan afirmasi dilakukan oleh Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Jaringan Perempuan Politik, Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dan 38 LSM sejak tahun 2001. Peneliti Pusat Kajian Politik UI, Ani Sucipto mengatakan, kebijakan afirmasi diperlukan karena adanya kesenjangan gender. Baik dari segi kuantitas atau keterbatasan kultur pada perempuan yang mengharuskannya mengurus anak dan keluarga .
Kebijakan afirmasi perempuan di Indonesia menjelang Pileg 2014 terwujud dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Bahkan pasal 56 ayat 2 menyebutkan bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Poin-poin tersebut dikuatkan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7 Tahun 2013 pada pasal 11b, 11d, 24 ayat 1c-d dan ayat 2.
Meski pada mulanya tidak semua parpol peserta Pemilu 2014 bersepakat dalam hal itu karena mengaku kesulitan memenuhi syarat kuota 30 persen perempuan terutama ketika menjaring kader di daerah, namun kebijakan afirmasi telah mendorong peningkatan keterwakilan caleg perempuan di parlemen. Peneliti politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menjelaskan keterwakilan perempuan di parlemen pada periode 2014-2019 akan mengalami peningkatan. Ia memperkirakan peningkatan sebesar 25 hingga 27 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Adapun berdasarkan data DPR RI, pada periode 2004-2009, jumlah anggotanya sebanyak 550 orang, dengan jumlah anggota perempuan hanya 11,09 persen aau 61 orang. Periode 2009-2014 total jumlah anggota DPR sebanyak 560, jumlah anggota perempuan meningkat menjadi 101 orang atau 18,04 persen. (www.republika.co.id)
Wajah Caleg Perempuan dan Kaderisasi Partai
Meski mengalami peningkatan jumlah, Siti Zuhro menilai kinerja anggota legislatif perempuan tidak memuaskan. Menurutnya perempuan di legislatif belum memberikan terobosan-terobosan baru bagi para perempuan. Buruknya kinerja anggota parlemen perempuan menurut Zuhro disebabkan pola rekrutmen dan kaderisasi parpol sama persis, hanya memenuhi target 30 persen, sehingga kurang selektif memilih caleg perempuan.
Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan) bahkan memaparkan temuan kajian dari Jurnal Perempuan dari edisi sebelumnya dan edisi yang akan diterbitkan Mei ini bahwa partai politik peserta Pemilu masih bersifat catch-all parties&office-seekers serta nir ideologi. Hal ini menurutnya membuat partai kemudian bersikap amat pragmatis. Kemudian yang terjadi, baik di tingkat elit dan akar rumput, adalah transaksi-transaksi politik. Transaksi politik tidak hanya berupa uang, atau mukena, atau beras, atau voucher-voucher diskon pembelian barang tertentu misalnya sebelum Pileg kemarin; tetapi juga transaksi lain seperti posisi dan jabatan politik baik di legislatif dan eksekutif. (www.jurnalperempuan.org)
Tidak berlebihan pula jika beberapa pihak telah dengan tegas meragukan kualitas dan integritas caleg perempuan. Keraguan tersebut cukup bisa dimengerti sebab tidak sedikit dari para debutan legislator itu berhasil melenggang ke Senayan karena faktor polesan konsultan, bukan karena orisinalitas kemampuan dan kualitas. Proses keterpilihan mereka sangat artifisial karena hanya mengandalkan kemahiran konsultan untuk menjual nama mereka ke masyarakat pemilih.
Mereka tidak lahir, tidak pula dibentuk sebuah sistem kaderisasi partai politik yang memang melempem sejak dulu. Akibatnya, meski menyegarkan secara tampilan karena wajah-wajah baru mereka, mereka diyakini tak akan bisa berbuat banyak di DPR karena pada dasarnya mereka hanya menjadikan politik sebagai taruhan. Mereka bukan orang-orang yang betul-betul memilih politik sebagai jalan perjuangan sehingga tak mungkin mengerti mandat-mandat perjuangan keadilan dan kesejahteraan bagi perempuan.
Demokratisasi Demi Sekularisasi
Kebijakan afirmasi perempuan dalam politik adalah hajat Barat yang diinisiasi dan dikentalkan oleh PBB, seperti tercantum dalam Beijing Platform for Action (BPfA ) tahun 1995. Demokrasi memang menuntut sistem perwakilan yang memungkinkan semua kelompok masyarakat terwakili. Dalam Bali Democracy Forum 8-9 November 2012 PM Australia, Julia Gillard menegaskan peran perempuan Indonesia sebagai kunci proses demokratisasi. Gillard telah menjanjikan bantuan $ 1.750.000 untuk menjalankan lembaga demokrasi di Indonesia selama tiga tahun ke depan. Dia ingin menggunakan program itu untuk mendorong lebih banyak perempuan memasuki dunia politik. (www.news.com.au, 8/11/2012).
Demikian pula pemerintah Indonesia. Demokrasi menjadi salah satu prioritas pembangunan bidang politik. Demi menunjukkan komitmen itu, Bappenas telah mengembangkan alat ukur untuk menilai kemajuan demokrasi yang disebut Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). IDI menjadi salah satu target sektoral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Walaupun Indonesia masih harus membuktikan dirinya sebagai negara demokratis karena capaian nilai IDInya masih rendah. Perlu diketahui, nilai IDI tahun 2010 adalah 63.17, turun dari capaian tahun 2009 yakni 67.3.
Tiga aspek penting yang diukur dalam IDI adalah aspek kebebasan sipil,hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Untuk menuju negara yang demokratis, pembangunan yang dilaksanakan harus bersifat inklusif. Karena itu salah satu variabel yang dinilai dalam aspek kebebasan sipil adalah kebebasan dari diskriminasi gender. Begitu pula hak politik untuk memilih dan dipilih, variabelnya adalah prosentase perempuan yang dipilih menjadi anggota DPRD. Sedangkan penilaian lembaga demokrasi secara khusus menyorot persentase perempuan dalam kepengurusan parpol di provinsi. Di antara 3 aspek itu, hak-hak politik menyumbang nilai terendah (54.6 pada tahun 2009, turun menjadi 47.87 pada tahun 2010). Karena itu, dunia internasional butuh pembuktian dari Indonesia bahwa perempuan menjadi agen penting bagi upaya demokratisasi melalui peningkatan jumlah mereka di parlemen.
Tujuan peningkatan jumlah kuota perempuan adalah dalam rangka memastikan implementasi pelaksanaan UU yang pro perempuan. Kalangan gender berpendapat, masih tingginya kekerasan terhadap perempuan disebabkan implementasi UU No.23/2004 tentang PKDRT belum efektif. Selain itu, perempuan dianggap akan mempermudah proyek legislasi penyusunan peraturan responsif gender. DPR masih dianggap punya pekerjaan rumah untuk melakukan revisi peraturan yang dianggap bias gender seperti UU Perkawinan No.1 tahun 1974, revisi KUHAP, Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, serta meloloskan aturan pro gender seperti RUU Keadilan Gender dan Kesetaraan Gender. Padahal beberapa produk peraturan itu, selain ditargetkan untuk kepentingan ekonomi, justru diciptakan dengan tujuan mempersoalkan hukum-hukum Islam.
Dalam Bali Democracy Forum yang dihadiri Navy Pillay -Komisioner HAM PBB-, Komnas Perempuan mengingatkan peran strategis perempuan Indonesia untuk mengawal pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Karena itu mereka sangat menyayangkan sikap pemerintah yang justru tidak berpihak pada demokratisasi perempuan seperti tercermin pada peraturan diskriminatif gender.
Indonesia didesak untuk membentuk peraturan perundang-undangan demi mengubah perilaku social dan budaya yang tidak mendukung kesetaran gender. Beberapa amalan yang bersumberkan syariat Islam menjadi poin yang ingin mereka ubah. Meneg PP dan PA Linda Gumelar juga mengatakan saat ini tantangan yang dihadapi adalah kendala kultural. Kendala ini ditandai dengan adanya pola pikir patriarki yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku individu dan kelompok. Mereka memang tidak menuding hidung kita, namun rentetan pernyataan yang dikeluarkan para feminis di awal tahun 2013 mengarahkan masyarakat Indonesia tentang betapa buruknya praktek sunat perempuan, kawin siri dan nikah dini, yang notabene bersumber dari syariat Islam. Mereka menginginkan Indonesia makin sekuler melalui penetapan dan penerapan produk undang-undang.
Menakar Masalah Kesejahteraan Perempuan
Pada hakekatnya, kuota tinggi untuk perempuan di parlemen tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi perempuan umumnya melainkan hanya menguntungkan perempuan kelas elit. Kalaupun kuota tersebut mencapai 100% tidak akan ada bedanya bagi para perempuan, karena mereka hidup di bawah sistem kapitalis korup yang menindas dan inkompeten.
Inkompetensi undang-undang buatan manusia itu terbukti nyata. Walaupun DPR telah melegalisasi UU Nomor 23 tentang Perlindungan Anak sejak tahun 2002, namun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menetapkan tahun 2013 kemarin sebagai tahun darurat kekerasan seksual terhadap anak. Memasuki caturwulan ke dua tahun ini, Indonesia adalah negeri darurat predator anak. Undang-undang itu gagal melindungi anak-anak Indonesia dari kejahatan seksual, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh para pelindung mereka.
Apalagi undang-undang yang dibuat para anggota legislatif tidak pernah berpihak pada kemashlahatan rakyat. Ketua DPP PPP Reni Marlinawati Amin menilai DPR tidak lagi punya keterkaitan moral dengan masyarakat yang diwakilinya. Menurutnya DPR tidak punya kapasitas membuat UU demi kepentingan rakyat. Yang ada sekarang pembuatan UU hanya untuk kepentingan pemodal saja. (pikiran-rakyat.com, 8/3/2013).
Begitulah sistem perundang-undangan yang dibuat dengan semangat sekularis. Tak kan mungkin perempuan terjamin hidupnya karena hak-hak mereka dapat dihapus sesuai keinginan penguasa. Apalagi konsep kesetaraan gender yang dipaksakan Barat untuk diadopsi semua negara, nyatanya hanya menciptakan halusinasi akan keadilan dan kesejahteraan. Justru Barat menunai buah dari liberalisasi perempuan akibat penerapan ide kesetaraan gender.
Tingginya angka kekerasan dan penyerangan seksual yang dialami perempuan dan anak-anak, bahkan dilakukan oleh individu dari lembaga terhormat seperti uskup atau anggota parlemen membuktikan hal itu. Masihkah kita mempercayai sistem buatan manusia, yang mencampuradukkan segala konsep untuk mengatur kehidupannya? Padahal Allah SWT telah menyediakan seperangkat hukum yang kompeten, adil, komprehensif, dan pasti menjamin kesejahteraan. Itulah solusi bagi semua masalah manusia, bukan hanya perempuan.

Perempuan Mulia Bukan dengan HAM

Penutupan Lokalisasi prostitusi terbesar se-Asia Tenggara di Gang Dolly Surabaya mendapat sorotan luas. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mendapat banyak perlawanan dari warga di sekitar Dolly dan Jarak, Pada hari dilakukan penutupan lokalisasi perzinahan tersebut, 18 Juni 2014, jalan-jalan diblokade oleh penduduk setempat dan orang-orang yang menolak penutupan lokalisasi, sehingga pihak Pemkot tidak bisa mendapatkan akses masuk Gang Dolly. Perlawanan tersebut dilakukan oleh para PSK, mucikari dan orang-orang yang tidak senang atas penutupan lokalisasi pelacuran tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta kepada Pemkot Surabaya untuk menunda penutupan lokalisasi tersebut sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Argumentasi Komnas HAM adalah sepanjang Pemerintah Kota Surabaya belum memberikan jaminan solusi masa depan pekerjaan bagi PSK, warga, dan mucikari pasca-penutupan lokalisasi, mereka menyarankan penutupan Dolly-Jarak ditunda tanpa batas waktu. Jika dipaksakan tanpa solusi konkret, pemerintah justru melanggar HAM karena ada unsur pemaksaan kehendak lewat instrumen kebijakan.
Meski ada pihak yang menolak dan melawan penutupan tersebut, ada juga yang kemudian mendukung. Ada yang mendukung upaya Pemkot untuk menutup tempat perzinahan itu berdasarkan kesadaran bahwa pelacuran, apapun alasannya tidak boleh dibiarkan, haram hukumnya membiarkan perzinahan merajalela.
Pihak Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyatakan mendukung penuh Pemerintah Kota Surabaya untuk menutup Dolly dan Jarak. Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan penutupan lokalisasi Dolly harus jalan terus. Alasannya, jika dibiarkan ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya.
Bagi pihak yang menolak penutupan Dolly, HAM dijadikan alasan, demikian juga apa yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, dukungannya terhadap penutupan Dolly, menjadikan HAM sebagai alasannya. Sepertinya HAM bisa dipelintir sesuai kepentingan. Lantas bagaimana pandangan yang benar terhadap persoalan ini?
HAM : Standar yang Absurd
Menjadikan HAM sebagai alasan, baik bagi para pendukung ataupun bagi pihak yang menolak penutupan lokalisasi perzinahan Dolly dan Jarak, menunjukkan bahwa HAM memiliki standar ganda, bisa dipelintir ke mana saja sesuai arah kepentingan.
Pemikiran HAM muncul di Eropa pada abad tujuh belas masehi sebagai akibat dari pergolakan yang berkobar antara gereja-gereja dan para agamawan dari satu sisi dan antara para cendekiawan dan filosof dari sisi yang lain.
Setelah berlangsungnya pergolakan diantara dua kubu, para cendekiawan mendapat kemenangan atas para pendukung gereja-gereja, yang kemudian melahirkan pemikiran pemisahan agama dari kehidupan (Sekulerisme). Atas dasar sekulerisme kemudian memunculkan apa yang disebut dengan ideologi kapitalisme.
Ideologi kapitalisme-sekulerisme inilah yang menonjolkan pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM). Istilah HAM adalah istilah kapitalisme yang lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Akidah sekulerisme adalah pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam.
Bukti nyata dan terindera saat ini adalah, kita menyaksikan dan melihat bahwa perzinahan yang telah jelas-jelas Allah haramkan dalam kitab suci, berupaya dilegalkan dan dipertahankan atas nama HAM. Padahal jelas sekali perzinahan adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Perzinahan adalah aktivitas yang sangat jauh dari nilai kehormatan dan kemuliaan manusia. Maka, ide HAM sama sekali tidak ada hubungannya dengan ide-ide Islam karena ide HAM dibangun atas dasar pemikiran yang bertentangan dengan Islam, yaitu akidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme).
Kapitalisme Biang Kerok Kehinaan Perempuan
Berdasar hasil pendataan, jumlah PSK di Dolly dan Jarak mencapai 1.187 orang. Angka itu melebihi data PSK di tempat maksiyat tersebut pada 2012 yang hanya 1.022 jiwa.
Banyaknya para perempuan yang ‘menjual diri’ beralasan, mereka melakukan kemaksyiatan dengan menjadi PSK adalah demi menghidupi keluarga. Alasan ekonomi mengemuka dalam kasus ini. Dan alasan ini juga yang mendapat dukungan beberapa pihak, termasuk dari para pejuang HAM.
Kapitalisme memandang kemuliaan perempuan terletak pada kontribusi mereka dalam persoalan ekonomi. Kontribusi perempuan di bidang ekonomi menjadi salah satu tolak ukur kemuliaan perempuan. Intinya, perempuan ideal adalah mereka yang bisa memberikan kemanfaatan fisik (materi) kepada semua pihak. Itulah pandangan kapitalis terhadap perempuan.
Itulah perangkap yang diciptakan kapitalis atas nama kemuliaan bagi perempuan. Perempuan bukannya lebih maju dan terhormat. Mereka bahkan terhina. Mereka bukan saja jauh dari tuntunan syariah. Bahkan mereka menjadikan Kapitalisme semakin kokoh.
Hanya Khilafah yang Memuliakan Perempuan
Islam sebuah agama yang diturunkan untuk mengatur seluruh umat manusia di dunia. Islam memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh tentang kehidupan. Tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Islam. Maka, berpalingnya manusia dari aturan Islam sesungguhnya hanya akan melanggengkan kedzaliman, kesengsaraan dan penderitaan. Penolakan mereka terhadap seruan penegakkan syariah Islam hanya akan memperparah kondisi yang sudah kacau balau.
Penolakan penutupan prostitusi dengan alasan apapun adalah alasan yang tidak masuk akal, terbantahkan jika dikembalikan kepada aturan yang hakiki yang datangnya dari Pencipta, Allah SWT.
Maka, ukuran kemuliaan perempuan harus berasal dari Allah SWT. Dialah Yang menciptakan perempuan dan yang memahami tujuan dari penciptaannya. Jika tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah SWT maka derajat kemuliaan manusia seharusnya ditentukan dari seberapa besar ia dapat menghambakan dirinya di hadapan Sang Khalik. Dari sinilah konsep takwa seharusnya menjadi tolak ukur kemuliaan seseorang. Sebab, takwa hakikatnya adalah ketundukan seorang hamba di hadapan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian Sesungguhnya Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal“ (QS. al-Hujurat [49]: 13).
Islam telah memuliakan perempuan dengan tugas pokok menjadi ibu serta pengatur dan penjaga rumah tangga (Umm wa Rabb al-Bayt).
Harapan akan hadirnya solusi atas berbagai persoalan perempuan tidaklah cukup digantungkan pada janji-janji para pemimpin baru. Solusi tuntasnya adalah mencampakkan ideologi kapitalisme-sekulerisme. Menyelamatkan perempuan dari kehinaan adalah dengan penegakkan Negara Khilafah Islamiyyah.
Hukum-hukum Islam yang menyangkut pergaulan antarlawan jenis, Islam telah menjaga perempuan agar kehormatannya terlindungi. Islam mewajibkan perempuan untuk menutup aurat, mengenakan jilbab dan kerudung ketika keluar rumah, menundukkan pandangan, tidak ber-tabarruj (berdandan berlebihan), tidak berkhalwat, tidak pacaran, bersafar lebih dari sehari-semalam harus disertai mahram, dan lain-lain. Semua hukum-hukum tersebut dalam rangka memuliakan perempuan.
Ketika perempuan mendapatkan tugas utama sebagai ibu serta pengatur dan penjaga rumah tangga, maka perempuan tidak dibebani tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut dibebankan kepada lelaki—suaminya, ayahnya ataupun saudaranya.
Namun perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain dalam kehidupan bermasyarakat, seperti menjadi dokter, guru, perawat, hakim, polisi perempuan adalah beberapa profesi yang dapat ditekuni perempuan dan sangat penting bagi keberlangsungan masyarakat.
Islam juga telah memberikan hak kepada perempuan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi. Perempuan berhak ikut serta dalam perdagangan, pertanian, industri dan melangsungkan akad-akad, bermuamalah serta berhak untuk memiliki dan mengembangkan segala jenis kepemilikan.
Islam mewajibkan laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu. Negara Khilafah berkewajiban menjalankan sistem pendidikan agar seluruh warga negara (termasuk perempuan) mendapatkan pendidikan.
Islam memerintahkan perempuan untuk beraktivitas politik dan beramar makruf nahi mungkar kepada penguasa (QS. Ali Imran [3]: 104, at-Taubah [9]: 71). Perempuan dalam Islam memiliki hak untuk memilih khalifah, memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat, atau menjadi bagian dari partai politik Islam. Hanya saja, urusan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan tidak boleh dijabat oleh perempuan.
Hukum-hukum Islam tentang nasab (juga hukum-hukum pernikahan), telah memuliakan perempuan, agar mereka memperoleh keturunan yang sah, dan mendapatkan kehidupan rumah tangga yang menenteramkan. Melalui pernikahan syar’i, perempuan mendapatkan hak-haknya sebagaimana laki-laki (suami) mendapatkan hak-haknya dari istrinya.
Islam memuliakan perempuan dengan jaminan di bidang peradilan. Islam juga membolehkan perempuan untuk berjihad. Islam juga memuliakan perempuan dengan membolehkan perempuan berkiprah di berbagai lapangan kehidupan, semua itu tentu dilaksanakan dengan tetap berada dalam rel Syara.
Demikianlah jaminan Islam yang diberikan khusus bagi perempuan. Semua itu tidak lain agar perempuan menjadi makhluk mulia, terhormat di hadapan Allah SWT dan manusia lain. Namun semua itu akan terwujud ketika Islam diterapkan dalam sebuah negara yaitu Negara Khilafah Islam. Wallahu ‘alam.

Hukum Seputar Puasa Wanita

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan, bahwa wanita hamil dan menyusui sama-sama boleh membatalkan puasanya, dengan kewajiban mengganti puasanya, tanpa harus membayar fidyah.
Allah SWT telah menetapkan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan kepada kaum Muslim, baik pria maupun wanita (QS al-Baqarah [2]: 183). Selain ketentuan umum tentang kewajiban tersebut, Islam juga mengatur dan menyelesaikan secara spesifik masalah wanita, khususnya terkait dengan kewajibannya berpuasa di bulan Ramadhan.
Ketentuan khusus tersebut, antara lain, terkait dengan puasa wanita yang haid dan nifas, serta wanita yang hamil dan menyusui.
Wanita Haid dan Nifas
Haid dan nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum wanita. Bedanya, haid keluar rutin setiap bulan, dengan kadar yang berbeda. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar saat melahirkan. Baik haid maupun nifas, sama-sama merupakan mani’(penghalang) bagi wanita untuk melakukan shalat dan puasa. Karena itu, ketika kedua penghalang ini terdapat pada diri wanita, dengan sendirinya wanita tersebut tidak bisa melaksanakan puasa dan shalat.
Bedanya, wanita haid dan nifas tidak wajib mengganti shalatnya, sedangkan puasanya tetap wajib diganti pada waktu lain. Ini didasarkan pada hadits Aisyah ra yang menyatakan, “Kunna nahidhu ‘inda an-Nabiyyi SAW fa ya’muruna bi qadha’i as-shiyami.” (Kami sedang haid di sisi Nabi SAW kemudian baginda memerintahkan kami untuk mengganti puasa) (HR Ibn Majjah – 1670). Dalam riwayat lain dinyatakan, “Wa la ya’muruna bi qadha’i as-shalah” (Baginda tidak memerintahkan kami mengganti shalat) (HR an-Nasa’i – 2318).
Maka, selama wanita yang haid dan nifas masih mengeluarkan darah, dia tidak wajib berpuasa. Namun, jika sebelum fajar darah haid dan nifasnya berhenti, dia terkena kewajiban berpuasa pada hari itu. Meski, saat fajar dia belum sempat bersuci dan mandi. Karena yang menjadi mani’adalah haid dan nifasnya, bukan sudah bersuci atau belum.
Dalam konteks sah dan tidaknya puasa wanita yang belum bersuci saat fajar, sementara darah haid dan nifasnya sudah berhenti sebelum fajar, memang ada perselisihan. Al-Hasan bin Shalih, al-Auza’i, dan salah satu pendapat dalam mazhab Maliki, menyatakan puasa wanita tersebut tidak sah. Sedangkan jumhur ulama’ yang lain menyatakan sah.
Mengenai kewajiban wanita haid dan nifas yang berbeda, antara shalat dan puasa, dimana wanita tersebut wajib mengganti puasa, tetapi tidak wajib mengganti shalatnya juga tidak ada perbedaan di kalangan kaum Muslim, kecuali satu sekte Khawarij Haruriyah. Sekte ini menyatakan, bahwa wanita yang haid dan nifas tidak wajib mengganti shalat dan puasanya. Sekte ini muncul di daerah Harura, Kufah-Irak. Namun, pendapat ini janggal dan aneh.
Wanita Hamil dan Menyusui
Demikian juga bagi wanita yang hamil dan menyusui, ada hukum khusus yang mengatur mereka. Dalam hadits Anas bin Malik ra menyatakan, “Rakhkhasha Rasulullah li al-hubla al-lati takhafu ‘ala nafsiha ‘an tufthira wa li al-murdhi’i al-lati takhafu ‘ala waladiha.” (Rasulullah SAW memberikan keringanan kepada wanita hamil yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya untuk membatalkan puasanya, juga wanita yang menyusui yang mengkhawatirkan anaknya [boleh membatalkan puasanya]) (HR. Ibn Majah – 1668)
Dalam hal ini, ulama’ berbeda pendapat:
1- Jika wanita hamil dan menyusui tersebut membatalkan puasanya, mereka wajib mengganti puasanya, dan membayar fidyah. Ini pendapat Sufyan at-Tsauri, Malik, Syafii dan Ahmad bin Hanbal.
2- Jika mereka membatalkan puasanya, dan membayar fidyah, maka tidak wajib mengganti puasanya. Sebaliknya, jika mereka telah mengganti puasanya, maka tidak wajib membayar fidyah. Ini pendapat Ishaq, al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’, ad-Dhahak, an-Nakha’i, al-Auza’i, Ikrimah, Rabi’ah, dan ahl ra’yi.
3- Wanita hamil dan menyusui disamakan dengan orang sakit, sehingga wajib mengganti puasanya, dan tidak wajib membayar fidyah. Ini merupakan pendapat Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibn al-Mundzir.
4- Wanita hamil dibedakan dengan wanita menyusui. Bagi wanita hamil, sama dengan orang sakit, sehingga wajib mengganti puasanya, dan tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan wanita menyusui, jika membatalkan puasanya, dia wajib mengganti puasanya, dan membayar fidyah. Ini pendapat Malik.
5- Sedangkan Syafii dan Ahmad, memilah alasan wanita hamil dan menyusui saat membatalkan puasanya. Jika alasannya karena mengkhawatirkan dirinya sendiri, atau mengkhawatirkan diri sekaligus anaknya, dia boleh membatalkan puasanya, dan wajib menggantinya. Jika mengkhawatirkan anaknya saja, mereka wajib mengganti puasanya, dan membayar fidyah.
Inilah ketentuan dasar terkait dengan boleh dan tidaknya wanita hamil dan menyusui membatalkan puasanya, dengan konsekuensi mengganti puasanya dan membayar fidyah. Puasa yang diganti sebanyak hari yang telah ditinggalkan. Sedangkan fidyah yang dibayarkan sebesar 1 Mud per hari. Satu Mud itu sendiri sama dengan 544 gram beras.
Hanya saja, pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil di atas adalah pendapat yang menyatakan, bahwa wanita hamil dan menyusui sama-sama boleh membatalkan puasanya, dengan kewajiban mengganti puasanya, tanpa harus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi. Dalam hal ini, pendapat inilah yang paling kuat.
Sedangkan pendapat yang menyatakan, bahwa mereka tidak perlu mengganti puasanya, adalah pendapat yang tidak bisa digunakan. Sebagaimana pendapat yang menyatakan, bahwa mereka yang membatalkan puasanya, wajib mengganti puasanya dan membayar fidyah juga tidak ada dasarnya.