Kamis, 30 Oktober 2014

Menjadi Pendidik Ideal (Islami dan Profesional)


Menjadi seorang pendidik memiliki keutamaan yang banyak sekali. Diantaranya adalah bahwa mendidik adalah jalan dakwah para nabi dan rasul. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikuti mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Keutamaan lain yang bisa diperoleh seorang pendidik adalah pahala yang tidak terputus, selama ilmu yang ia ajarkan terus diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Untuk menjadi seorang pendidik yang Profesional dan Islami, hendaklah seorang guru memahami dan mengamalkan hal-hal berikut ini:
(1) Meniatkan Ikhlas karena Allah semata. Mengajarkan ilmu kepada orang lain merupakan salah satu jenis ibadah, yang mana ibadah tidaklah diterima kecuali dengan niat yang ikhlas dan mutaba’ah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan dari apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
(2) Membekali Diri dengan Ilmu. Karena ilmu tidaklah didapat kecuali dengan belajar, maka membekali diri dengan ilmu sebelum mengajarkan merupakan seuatu kewajiban. Dan seorang guru tidak akan mampu mengajarkan ilmu yang ia tidak miliki/kuasai. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan, “Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberi apa-apa.” (Dinukil oleh Syaikh Albani dalam Kitab At-Tawassul Anwaa’uhu wa Ahkaamuhuhal.74)
(3) Menjadi Teladan yang Baik bagi Anak Didiknya. Wajib bagi seorang pendidik untuk membaguskan akhlaknya dan menjadikan dirinya sebagai teladan bagi anak didiknya, serta menjauhi akhlak yang buruk. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Anak didik tidak akan menilai seorang guru hanya sekedar dari ucapan semata, namun ia juga akan melihat kesesuaiannya dalam akhlak dan perbuatannya. Berperilaku tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya juga termasuk hal yang dimurkai oleh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, mengapa engkau mengatakan apa yang tidak engkau kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa engkau mengucapkan apa-apa yang tidak engkau kerjakan.” (QS. Ash-Shaaf: 2-3)
(4) Amanah terhadap Pekerjaannya. Selain mampu menjadi teladan bagi anak didiknya, seorang pendidik hendaklah amanah dengan tugas yang diembankan kepadanya. Disiplin terhadap waktu, amanah terhadap pekerjaan, rapi dan bersih dalam berpakaian. Demikianlah selayaknya seorang pendidik.
(5) Berdo’a kepada Allah. Sebesar apapun keinginan dan usaha seorang hamba untuk menjadikan dirinya dan orang lain paham terhadap apa yang ia sampaikan, tetaplah ia berdoa kepada Allah sebagai pemberi hidayah kepada seseorang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya.” (QS. Al-Qashas: 56)
(6) Bersikap Sabar menghadapi Perilaku Anak Didiknya. Dalam mengajar, seorang guru dihadapkan pada perilaku dan karakter siswa yang berbagai macam. Terkadang seorang guru dihadapkan pada siswa yang sangat sulit diatur. Namun demikian, seorang guru harus tetap sabar dalam mengarahkan anak didiknya, dan berusaha mencari solusi setiap permasalahan.
Demikianlah diantara kiat yang dapat menjadikan seorang guru menjadi Pendidik yang Profesional dan Islami. Adapun faktor-faktor lain, seperti memanfaatkan teknologi dalam sistem pembelajaran adalah boleh, Allahu a’lam, selama tidak bertentangan atau melanggar batas syari’at. Sekian, ini hanyalah sedikit catatan ringan dari seorang guru berdasarkan pengalamannya dalam mengajar. Silahkan diambil jika ada manfaatkan, dan silahkan ditinggalkan jika ada yang kurang tepat di dalamnya. Akhirnya, hanya kepada Allah-lah kita memohon taufiqNya.

Merindukan Generasi Aisyah

Pola pendidikan saat ini tidak menjanjikan lahirnya generasi berilmu dan berkepribadian mumpuni sejak usia dini.
Betapa keras hidup yang dijalani Siti Aisyah Pulungan (8). Lebih dari setahun, ia tinggal nomaden di becak bersama ayahnya. Pindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Medan Sumatera Utara, Aisyah hanya mengandalkan belas kasih orang untuk bertahan hidup.
Sejak usia setahun, Aisyah berpisah dengan ibunya. Ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan (56) yang tiga tahun belakangan sakit komplikasi paru, akhirnya tak mampu mencari nafkah sebagai sopir mobil boks. Uang habis untuk biaya pengobatan. Satu-satunya barang berharga hanya becak yang dibeli dengan cara mengangsur (www.detik.com).
Kini, setelah kisahnya diekspose media, berhamburan perhatian tertuju padanya. Aisyah pun bisa kembali ke sekolah. Ayahnya juga dirawat di rumah sakit dengan bebas biaya. Donatur berbondong-bondong membantu mengentaskan nasibnya. Entahlah, bagaimana kisah Aisyah jika tak dihebohkan media. Mungkin dia akan tetap menggelandang, sebagaimana Aisyah-Aisyah lain di belahan negeri ini yang tak kalah nelangsanya. Demikianlah yang terjadi pada masyarakat dan penguasa saat ini. Ibarat pemadam kebakaran, baru bertindak jika sudah rame karena muncul asap.
Kontras
Aisyah tentu tak menyangka hidupnya demikian sengsara. Orang tuanya juga pasti tak bercita-cita menyengsarakan anaknya. Sebaliknya, pasti mendamba anak gadisnya itu kelak menjadi seorang Aisyah, sebagaimana nama indah yang disandangnya, yang diambil dari istri Rasulullah SWT.
Ya, betapa agung dan harum nama beliau hingga generasi masa kini begitu bangga menyandang namanya. Sayangnya, kehidupan Aisyah masa kini, sangat kontras dengan kehidupan Aisyah di masa Rasulullah SAW. Adalah gadis kecil bernama Aisyah binti Abu Bakar yang sejak belia sudah menunjukkan kecerdasannya.
Lahir dalam lingkungan spiritual yang kental dari ayah dan kerabatnya, Aisyah sudah cukup matang menerima kehadiran suami meski usianya belum belasan. Kematangan pribadinya tak lain berkat didikan sang ayah yang juga sahabat terdekat Rasulullah SAW. Maka sejak mendampingi Rasulullah SAW, Aisyah menjelma menjadi ahli hadits saat usianya masih belia.
Bayangkan saja, beliau dikenal sosok ahli fiqih yang taat pada Rabbnya. Pada saat Rasulullah SAW meninggal dunia, usia Aisyah baru menginjak 19 tahun. Padahal ia hanya sempat sembilan tahun hidup bersama manusia agung tersebut. Artinya, sejak usia 10-an tahun Aisyah sudah bergelut dengan ilmu. Tak heran bila kemudian sepanjang hidupnya Aisyah telah memenuhi seluruh penjuru dunia dengan ilmu. Dalam hal periwayatan hadits, beliau adalah tokoh yang sulit dicari bandingannya. Ia diakui lebih memahami hadits dibanding istri-istri Rasul lainnya.
Bahkan dalam masalah jumlah hadits yang diriwayatkannya, tidak ada yang menandingi selain Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar. “Saya tidak pernah melihat pada umat Muhammad saw, bahkan wanita secara keseluruhan, ada seorang wanita yang lebih alim dari Aisyah ra” (Ad-Dhahabi dalam kitab as Sair jilid II, hal 240)
Aisyah pun kerap menjadi pengoreksi pemahaman para sahabat dan menjadi rujukan dalam memahami praktik Rasulullah SAW. Di dalam al–Mustadrak, az-Zuhri berkomentar: “seandainya ilmu semua manusia dan ilmu istri-istri nabi digabungkan, niscaya ilmu Aisyah lebih luas dari ilmu mereka. Menurut Adz-Dzahabi, musnah Aisyah mencapai 2.210 hadits. Imam Bukhari dan Imam Muslim sepakat atas riwayat Aisyah sebanyak 140 hadits. Bukhari meriwayatkan 54 hadits Aisyah dan Muslim meriwayatkan 69 hadits.
Bahkan tak hanya menguasai fiqih dan hadits, Aisyah juga menguasai ilmu kedokteran dan sastra. Sampai-sampai Hakim Abu Abdillah berkata: “Aisyah ra membawa seperempat syariah Islam.” Dan
Urwah Ibnu Zubair berkata: Saya tidak melihat seorang pun yang lebih pandai dalam masalah ilmu fiqih, kedokteran, dan sastra selain Aisyah ra.”
Demikianlah puja-puji atas sosok Aisyah ra yang menunjukkan sosok Muslimah mulia pada usia muda. Sangat berbeda dengan apa yang dialami anak-anak di masa sekarang. Tak sedikit yang di usia kecilnya terpaksa menanggung beban berat kehidupan. Bahkan menjadi tulang punggung keluarga, ikut membantu mencari nafkah dan tinggal di jalanan.
Sungguh, anak-anak tak berdosa itu tak bisa memilih nasibnya. Jika tanpa ada uluran orangtua atau penguasa, niscaya mereka tak akan mekar menjadi generasi terbaik alias khairu ummah. Boro-boro menata masa depan sejak kecil atau sibuk bergelut dengan ilmu di usia belia, sosok seperti Siti Aisyah Pulungan hanya bisa pasrah karena bertahan hidup saja susah.
Inilah buah penerapan sistem sekuler-kapitalis yang terbukti tidak membawa kesejahteraan dan keadilan secara merata. Dunia di bawah ketiak sekulerisme, liberalisme dan demokrasi memang terlihat mengalami kemajuan di segala bidang, namun di sisi lain menyisakan fakir miskin dan gelandangan di mana-mana. Anak-anak telantar, keluarga tercerai berai, kemiskinan, kriminalitas dan dekadensi moral merajalela di mana-mana. Mau sampai kapan?
Rindu Khilafah
Sosok seperti Aisyah sangat mungkin terlahir kembali di masa modern ini, jika anak sekecil Siti Aisyah Pulungan terentaskan nasibnya, tanpa beban berat yang harus dipikulnya. Seusia Aisyah, ia seharusnya menjadi gadis kecil yang sedang seru-serunya menikmati masa kanak-kanak.
Dalam konteks pendidikan Islam, seharusnya sedang getol-getolnya mempelajari ilmu. Sedang semangat-semangatnya mencontoh teladan mulia. Sayangnya, pola pendidikan saat ini tidak menjanjikan lahirnya generasi berilmu dan berkepribadian mumpuni sejak usia dini. Sebab kurikulum terlalu sarat pelajaran-pelajaran yang sebenarnya juga tidak berguna dalam amal kehidupan nyata anak-anak. Mereka terlalu banyak dicekoki ilmu-ilmu sekuler, yang justru menjadi racun dalam otak.
Karena itu, sudah semestinya umat ini mendambakan masa-masa keemasan layaknya di masa sahabiyah Aisyah atau masa-masa kekhilafahan sesudahnya. Masa di mana anak-anak perempuan menikmati keceriaan dunianya, sekaligus menimba ilmu dan memupuk kepribadiannya, tanpa dibebani tanggung jawab berat memikirkan sesuap nasi seperti gadis Medan itu.
Masa-masa seperti itu hanya dipenuhi jika penguasa dan masyarakat secara keseluruhan hidup dalam suasana Islam. Hidup dalam kepedulian satu sama lain. Hidup tanpa ada kekurangan. Hidup dalam nuansa keimanan.
Pemimpin mengayomi rakyatnya, mencukupi kebutuhan seluruh warga negaranya, termasuk sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan dan kesehatan. Pemerintah tidak abai terhadap fakir miskin, anak yatim-piatu dan gelandangan. Pemerintah yang tidak bisa tidur manakala ada rakyatnya yang berada di bawah garis kemiskinan dan berupaya sekuat tenaga untuk mengentaskannya.
Pemerintah yang peduli anak-anak agar semuanya mampu mengenyam pendidikan dengan layak. Pemerintah yang legawa mengakui kegagalan sistem sekuler, liberal dan demokrasi dalam memanusiakan manusia. Pemerintah yang dengan ketakwaan dan ketakutannya pada Sang Pencipta menyadari, bahwa bumi ini milik Allah SWT, hanya aturan dari-Nya saja yang layak diterapkan. Sebab jika tidak segera kembali pada aturan-Nya, akan selalu ada episode Aisyah-Aisyah lain yang tak kalah memilukan. Sebab, ini ibarat fenomena gunung es, hanya yang terakspose media saja yang kelihatan. Lainnya masih banyak di luar sana. Maka sadarlah wahai penguasa!

Siapa Akan Menolong Perempuan dan Anak-Anak Palestina Dari Pembantaian Tentara Israel?

Perempuan dan anak-anak Palestina menjadi sasaran pembantaian Israel. Dalam serangan brutal di Jalur Gaza, yang telah dimulai Selasa 8 Juli lalu, delapan wanita dan 11 orang anak tewas, termasuk seorang bayi berusia 18 bulan dan seorang wanita 80 tahun. Sedangkan dalam sebuah serangan udara pada Rabu, dua orang anak dan ibu mereka termasuk di antara lima orang tewas ketika pasukan Israel menyasar rumah mereka (Kompas.com, 10/07/2014). Total 29 warga Palestina, 17 di antaranya perempuan dan anak, terbunuh pada operasi militer Israel Rabu lalu (Merdeka.com, 10/07/2014).
Tragedi ini mengulang kembali tragedi yang sama di tahun 2012. Saat itu, sekitar 105 orang menjadi korban. Serangan kali ini memakan korban lebih banyak. Data terakhir 12 Juli 2014, korban tewas telah mencapai 127 orang (Metro TV, 12/07/2014). Tidak ada tanda-tanda Israel akan menghentikan serangan.
Kondisi Gaza kian memprihatinkan. Korban luka terus mengalir ke rumah sakit. Namun obat-obatan habis. Para ibu berurai air mata, menunggui buah hatinya yang bersimbah darah, merintih kesakitan, tanpa ada harapan kapan mendapatkan pengobatan yang layak.
PBB dan negeri-negeri Islam menyerukan gencatan senjata dan mengecam aksi Israel ini. Komisi Hak Asasi Manusia PBB bahkan mengatakan Israel dapat dinyatakan telah melanggar hukum perang karena membombardir pemukiman sipil sehingga banyak jatuh korban sipil termasuk anak-anak. Namun seperti angin lalu, kecaman dan ancaman tersebut tidak berpengaruh apapun. Bahkan perdana menteri Israel, Netanyahu, dengan arogan menegaskan tidak akan menghentikan serangan dan mengancam segera melakukan serangan darat.
Negara-negara muslim kehilangan taring di depan Israel. Upaya yang mereka bisa lakukan hanya sekedar mengirim bantuan dana, makanan dan obat-obatan. Itupun tertahan tidak bisa masuk ke Palestina karena embargo yang dilakukan Israel. Satu-satunya pintu perbatasan masuk ke Palestina adalah Rafah, yang sampai saat ini masih ditutup oleh Mesir. Maka warga Gaza seperti dimasukkan dalam kerangkeng singa, siap untuk dibantai. Siapakah yang akan menolong mereka?
Mengapa Israel Menjadikan Perempuan dan Anak sebagai Target Serangan?
Adalah bohong besar kalau Israel mengatakan bahwa perempuan dan anak-anak adalah “korban sampingan” karena Hamas menempatkan persenjataan mereka di rumah-rumah dan menjadikan penduduk sipil sebagai tameng hidup. Mereka dengan sengaja membunuh para ibu dan anak-anak Palestina, atau menangkap dan menjebloskan mereka ke dalam penjara dengan masa hukuman yang tak masuk akal. Semua adalah akibat rasa takut yang luar biasa terhadap perempuan dan anak-anak Palestina.
Perempuan Palestina dan anak-anak adalah bagian tak terpisahkan dari jihad. Dalam kondisi pelayanan kesehatan yang buruk, makanan yang minim dan kondisi hidup yang serba sulit, mereka tidak lelah mencetak mujahid-mujahid baru. Perempuan Palestina, bisa melahirkan 15 anak dalam hidupnya (Majalah Hidayatullah 10/02/2013). Anak-anak itu mereka didik dan mereka tanamkan kecintaan terhadap jihad dan mati syahid. Maka anak-anak Palestina tidak pernah merasa gentar berhadapan dengan tentara Israel sekalipun hanya bersenjatakan batu.
Merekalah mujahid-mujahid muda yang kelak akan mengalahkan dan menghancurkan Israel. Bagaimana Israel tidak merasa takut, sementara generasi muda mereka sendiri tumbuh dalam ketakutan terhadap kematian? Satu-satunya cara bagi mereka untuk bertahan adalah dengan memangkas pucuk-pucuk baru generasi mujahid. Namun makar mereka tidak akan berhasil. Mati satu tumbuh seribu. Generasi mujahid baru senantiasa lahir dari rahim suci ibu-ibu Palestina.
Kewajiban Muslim Dunia
Kaum muslimin di manapun berada terikat oleh suatu persaudaraan yang kuat, bahkan lebih kuat dari ikatan darah dan keturunan. Allah Ta’ala menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat : 10)
Rasulullah SAW menggambarkan umat Islam sebagai satu tubuh, sehingga kalau ada satu bagian tubuh umat yang sakit dirasakan sebagai rasa sakit yang sama. Derita Muslim Palestina adalah derita kita. Air mata perempuan dan anak-anak Palestina adalah air mata kita juga. Sakit mereka sakit kita. Jiwa mereka, adalah bagian juga dari jiwa kita. Maka haram bagi kita menyia-nyiakan jiwa mereka.
Rasulullah SAW bersabda :
“Hilangnya dunia dan seisinya masih lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” (HR. at-Tirmidzy)
Adalah kewajiban seluruh kaum muslimin di dunia untuk melindungi saudara-saudaranya di Palestina. Rasulullah saw telah menegaskan hal ini dengan sabdanya :
الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ أَخِيهِ وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ
”Seorang Mukmin adalah cermin bagi saudaranya yang beriman; dia melindunginya dari bahaya dan membelanya di belakang punggungnya.” (HR. Bukhari)
Serangan militer Israel tidak akan bisa dihentikan hanya dengan diplomasi, donasi dan doa (3-D). Sudah terbukti berulangkali Israel menciderai kesepakatan damai dan perjanjian dengan Palestina. Allah sendiri telah menunjukkan karakter khas mereka yang suka melanggar janji tersebut dalam Al Qur’an sebagaimana dalam QS. Al Maidah: 13 berikut :
فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً ۖ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ ۙ وَنَسُوا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوا بِهِ ۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَائِنَةٍ مِّنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka…”
Sungguh serangan militer Israel hanya dapat dihentikan dengan serangan militer pula. Umat Islam di seluruh negeri-negeri muslim di dunia mampu untuk melakukannya. Mereka memiliki puluhan juta tentara dengan persenjataan yang lengkap. Negeri Islam juga memiliki ratusan juta penduduk yang siap membantu para tentara membebaskan Palestina. Mereka siap melaksanakan perintah Allah SWT untuk jihad fi sabilillah sebagaimana ayat berikut :
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau dan berilah kami penolong dari sisi-Mu” (QS. An-Nisa : 75)
Namun sayangnya, sekian banyak umat Islam dunia telah terkotak-kotak oleh sekat bernama nasionalisme dan kebangsaan. Bagi mereka, Palestina adalah tanggung jawab bangsa Palestina. Tentara-tentara negeri Islam lumpuh untuk digerakkan guna membebaskannya. Selalu yang menjadi alasan harus di bawah payung PBB, baru bisa digerakkan. Padahal PBB, merupakan organisasi organ penjajah Barat yang tidak pernah membela umat Islam. Bahkan sekedar mengeluarkan resolusi mengutuk serangan Israel pun PBB tak mampu.
Sungguh memprihatinkan ketika negeri-negeri Islam ini justru melarang warganya untuk keluar membela Palestina. Bagaimana mungkin negeri-negeri seperti ini bisa diandalkan untuk menolong Palestina? Tak heran jika Israel semakin brutal terhadap Palestina, karena tak ada yang mereka takuti lagi dari sekitar 1.3 milyar kaum muslimin yang telah tercerai berai.
Hanya Khilafah yang Mampu Menjaga Kehormatan dan Melindungi Perempuan dan Anak
Yang kita butuhkan saat ini adalah satu institusi yang mampu membuat keputusan politik dengan mengirimkan tentara menyelamatkan Palestina. Tanpa dibatasi oleh kebangsaan, warna kulit, atau ras. Tanpa menunggu perintah PBB yang menjadi alat penjajah Barat. Bergerak karena disatukan oleh akidah Islam dan perintah Allah SWT untuk berjihad. Institusi tersebut adalah Khilafah Islamiyyah. Dengan Khilafah, Israel tidak akan memandang remeh umat Islam seperti sekarang.
Siapapun yang melakukan pembunuhan terhadap umat Islam—meskipun satu orang—akan berhadapan dengan negara Khilafah yang kuat. Inilah institusi yang mampu melindungi seluruh umat sekalipun hanya seorang perempuan.
Sejarah telah mencatat apa yang dilakukan oleh Khalifah al Mu’tashim ketika mendengar seruan minta tolong dari seorang Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh tentara Romawi. Al-Qalqasyandi, dalam kitabnya, Ma’atsiru al-Inafah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan kota Ammuriyah pada 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan, penguasa ‘Amuriyah, salah seorang Raja Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah -Radhiyallahu ‘anha. Wanita itu disiksa, lalu berteriak, “Wahai Mu’tashim!” Raja Romawi pun berkata kepadanya, “Tidak akan ada yang membebaskanmu, kecuali menaiki bebarapa balaq (kuda yang mempunyai warna hitam-putih).”
Jeritan itu pun sampai kepada Khalifah al-Mu’tashim. Lalu dia mengomando pasukannya untuk mengendarai kuda balaq. Dia pun keluar, memimpin di depan pasukannya, dengan 4.000 balaq, tiba di Amuriyah dan menaklukkannya. Dia membebaskan wanita mulia tersebut, dan berkata, “Jadilah saksi untukku di depan kakekmu (Nabi Muhammad SAW), bahwa aku telah datang untuk membebaskanmu dengan memimpin pasukanku, yang terdiri dari 4.000 balaq.” Dengan tentara itu, kota Amuriyah ditaklukkan, kehormatan seorang Muslimah dibela, ribuan tentara Romawi dibunuh dan ditawan.
Begitupun yang terjadi pada kasus di masa Khilafah Umayyah, ketika Muhammad bin Qasim dikirimi sejumlah besar pasukan oleh wali Al-Hajjaj Ibnu Yusuf Al-Thaqafi untuk membela beberapa Muslimah dan anak-anak Muslim yang diserang kalangan Sindh.
Saat ini, perempuan dan anak-anak di Palestina menjerit meminta tolong kepada kaum muslimin. Kita mendengar teriakan mereka, dengan jelas, melalui radio, televisi, koran maupun internet. Tapi kita tidak datang untuk mereka. Bagaimana nanti kita harus bertanggung jawab saat ditanya Allah tentang terbunuhnya ratusan jiwa muslim Palestina?
Tak ada jalan lain bagi kita sekarang kecuali menggencarkan perjuangan untuk menegakkan kembali institusi Khilafah Islamiyyah yang akan menggerakkan pasukan untuk menghadapi Israel dan menghancurkannya. Dengannya kehormatan perempuan muslim terjaga, dan kelangsungan generasi diwujudkan dalam meraih predikat umat terbaik di sepanjang masa.

Kemuliaan Wanita dalam Sebuah Negara

Pastilah kita sudah tidak asing lagi dengan pribahasa “majunya suatu negara adalah karena wanitanya dan hancurnya suatu negara juga karena wanitanya”. Pribahasa di atas bukanlah sebuah kata tanpa makna, tapi lebih pada mengukuhkan kedudukan seorang wanita yang tidak bisa dianggap sepele. Karena wanita mempunyai peranan penting di segala bentuk kehidupan.
Namun apa yang terjadi bila negara kita tidak lagi mengindahkan kemuliaan seorang wanita. Keindahan bentuk tubuh wanita atau bahkan kehormatannya seringkali dieksploitasi demi sepeser rupiah. Dolly adalah salah satu contoh di mana kemuliaan seorang wanita hanyalah sampah yang menjijikkan. Terlebih baru-baru ini penutupan lokalisasi prostitusi terbesar di Asia Tenggara ini ditentang oleh berbagai lapisan masyarakat. Parahnya lagi penutupan Dolly dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).
Dimana kesadaran kita sebagai manusia yang beradab. Bila negara menganggap permasalahan ini sebagai permasalahan klasik yang tidak perlu ditangani secara serius. Allah bahkan telah memberi peringatan kepada kita dengan banyaknya peristiwa alam yang bertubi-tubi terjadi di negeri ini.
Sungguh kemuliaan seorang wanita akan benar-benar terwujud dalam naungan Khilafah. Sebuah sistem yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh baik dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Kembalilah kepada hukum Allah! Hukum yang berasal dari yang memiliki kehidupan ini. Maka dengan demikian kemuliaan seorang wanita akan segera terwujud.