Presiden SBY menerbitkan PP Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Pada tanggal 21 Juli lalu. PP
ini di antaranya mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang
diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat
pemerkosaan.
Pelegalan aborsi tersebut mengacu pada
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36/2009, khususnya pasal 75 ayat (1) yang
ditegaskan, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali
berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan
yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
“Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan
medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman,
bermutu, dan bertanggung jawab,” bunyi pasal 35 ayat (1) PP ini.
Praktik aborsi yang dilakukan dengan
aman, bermutu, dan bertanggung jawab itu, menurut PP ini, meliputi: a.
dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; b. dilakukan difasilitasi
kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan;
c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e. tidak diskriminatif;
dan f. tidak mengutamakan imbalan materi.
Peraturan Pemerintah ini mendapat
pertentangan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua
KPAI, Maria Advianti mengatakan PP tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Perlindungan Anak.
Sementara Ketua Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) bidang Pemberdayaan Perempuan, Tutty Alawiyah juga
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap PP tersebut. Menurutnya, PP ini
akan sangat mungkin dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Perempuan yang melakukan seks bebas akan sangat mungkin mengaku
diperkosa sehingga menuntut dilakukannya upaya aborsi.
Anggota Komisi IX DPR, Indra mengatakan,
DPR akan memanggil kementerian kesehatan terkait aturan ini. Anggota
komisi IX DPR tersebut mengkhawatirkan kalau aborsi atas nama perkosaan
diperbolehkan nanti bisa menjadi pintu lain untuk melakukan aborsi
legal.
Ya, PP ini memberikan peluang kepada
orang yang tidak bertangguang jawab untuk melakukan tindak aborsi,
dengan dalih aborsi telah dilegalkan.
Sementara Menteri Kesehatan RI Nafsiah
Mboi menyatakan, aborsi tetap merupakan praktik terlarang berdasarkan
undang-undang. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi menurut dia tetap membatasi bahwa aborsi hanya bisa
dilakukan dalam kondisi darurat medis dan kasus pemerkosaan.
Menkes menyatakan bahwa masalah aborsi
ini telah dibahas selama 5 tahun. Baik Undang-Undang maupun PP
mengatakan, aborsi dilarang, kecuali untuk dua keadaan, (yakni) gawat
darurat medik dan kehamilan akibat pemerkosaan. Dia menegaskan, PP ini
adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Nafsiah mengatakan, kondisi perlunya
aborsi untuk kasus darurat medis mensyaratkan pembuktian dari tim ahli.
Adapun dalam kasus pemerkosaan, kata dia, usia janin pun tak boleh lebih
dari 40 hari, terhitung sejak hari pertama dari haid terakhir.
Kementerian Kesehatan, kata Nafsiah,
akan menyiapkan peraturan menteri kesehatan untuk menyediakan tim ahli
yang dipersyaratkan untuk persetujuan aborsi dalam kasus darurat medis.
Targetnya, menurut dia, peraturan tersebut akan rampung sebelum masa
jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir.
Menurut Nafsiah, Kementerian Kesehatan
juga akan menggelar pelatihan bagi tenaga kesehatan untuk bisa
memberikan konseling secara tepat.
Sementara itu, Nafsiah mengaku belum
tahu bahwa ada penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atas penerbitan PP Nomor 61 Tahun
2014.
Anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati
mengakui memang ada kekhawatiran PP nomor 61 tahun 2014 tentang aborsi
disalahgunakan bagi kehamilan di luar nikah.
Okky pun menekankan, PP Aborsi hendaknya
dibaca secara menyeluruh dan dilihat payung hukum UU Kesehatan, sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan
keluarga. Dikatakannya pula, ketika mendengar kata “aborsi” maka yang
terlintas adalah kehamilan di luar nikah. Padahal, lanjut dia, PP itu
justru melindungi kualitas hidup perempuan karena di antaranya akibat
korban perkosaan. Mengingat, saat-saat ini banyak perempuan korban
pelecehan seksual.
Aborsi, Fenomena Gunung Es
Aborsi merupakan fenomena gunung es,
yang terlihat di permukaan hanya sedikit namun jumlah kasus yang
sebenarnya sangat banyak. Data BKKBN menyebutkan bahwa kasus aborsi di
Indonesia diperkirakan mencapai 2,4 juta jiwa setiap tahunnya. Artinya
2,4 juta jumlah nyawa bayi tak berdosa dibunuh setiap tahun di
Indonesia.
Data di atas sangat mungkin akan
membengkak ketika aborsi menjadi legal dengan ditandatanganinya
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 ini, meski dengan dalih
darurat medis dan korban perkosaan, Karena sangat mungkin terjadi
penyelewengan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Pemberdayaan Perempuan, Tutty
Alawiyah.
Kasus aborsi semakin mencolok di
kota-kota besar. Yang paling mencengangkan adalah lebih dari separuh
pelaku aborsi adalah anak di bawah umur. Anak-anak ini baru berumur
kurang dari 18 tahun. Praktik aborsi yang paling dominan, sekitar
dilakukan 37 persen pelakunya adalah dengan cara kuret atau pembersihan
rahim, 25 persen melalui oral dengan meminum pil tertentu dan pijatan,
13 persen dengan cara suntik, dan 8 persen dengan cara memasukkan benda
asing ke dalam rahim. Selain itu juga ada cara jamu dan akupuntur.
Melonjaknya angka abrosi, terutama yang
melibatkan anak-anak di bawah umur tak bisa dilepaskan dari maraknya
tayangan yang berbau pornografi. Dengan tayangan ini, anak-anak
teransang untuk melakukan hubungan seks sebelum nikah. Akibat dari
perbuatan ini si anak perempuan akhirnya hamil di luar nikah. Jika sudah
demikian, untuk menutupi aib tersebut, aborsi kemudian dianggap solusi.
Data Komnas PA menyebut maraknya
tayangan pornografi ini, diperkirakan ada sekitar 83,7 persen anak kelas
IV dan V sudah kecanduan nonton film biru. Survey lain menyebut 62,7
persen remaja Indonesia sudah tidak perawan. Remaja itu rata-rata usia
SMP dan SMA. Bahkan, 21,2 persen remaja putri di tingkat SMA pernah
aborsi. Sebanyak 15 juta remaja puteri mengalami kehamilan dan 60 persen
diantaranya berusaha aborsi.
Aborsi merupakan problem yang lahir dari
penerapan sistem kehidupan kapitalistik. Aborsi tumbuh subur dalam
Sistem yang membiarkan seks bebas merajalela, bahkan difasilitasi.
Dalam Negara kapitalistik, sarana-sarana
yang menghasilkan keuntungan ekonomi, apapun itu, akan dibiarkan dan
dilindungi, meski sarana-sarana tersebut merusak generasi masa depan.
Sarana yang merangsang, seperti tayangan-tayangan seks, buku-buku dan
majalah-majalah seks, sinetron-sinetron percintaan, film-film impor yang
sarat dengan seks dibiarkan menyerang dan membunuh karakter generasi
pemimpin bangsa ini. Terlebih lagi, negara memfasilitasi alternatif
pemenuhan seks yang bisa diakses oleh masyarakat. Sebut saja lokalisasi
perzinahan dilegalkan di beberapa daerah, pemberian ijin pembangunan dan
beroperasinya tempat-tempat maksiyat seperti diskotik, klub malam, pub,
bar, cafe, hotel-hotel yang menyediakan fasilitas kemaksyiatan.
Na’udzubillah.
Dalam kehidupan kapitalistik, pelaku
seks bebas (perzinahan) tidak diberikan hukuman. Pelaku seks bebas yang
kemudian hamil, dimana kehamilannya tidak dikehendaki, untuk menutupi
aib maka aborsi menjadi pilihan. Pelaku seks bebas tersebut akan sangat
bisa mengaku diperkosa agar tindakan aborsi bagi dirinya menjadi legal.
Ketika para pelaku seks bebas dan pelaku
aborsi tidak dikenai sanksi, mereka akan semakin keranjingan seks bebas
karena jika hamil toh mudah untuk melakukan aborsi.
Hal lain yang berkontribusi terhadap
maraknya kasus aborsi dan seks bebas adalah adanya kebijakan tekanan
kekuatan internasional seperti dalam konvensi kependudukan kesehatan
reproduksi, Hak Asasi Manusia, dan sebagainya.
Inilah gaya kapitalis sesungguhnya,
membiarkan aborsi menjadi bagian dari budaya bangsa ini. Jika aborsi
tetap dibiarkan apalagi dilegalkan, apa jadinya bangsa ini ke depannya?
Mau dibawa kemana negeri ini?
Tegakkan Khilafah
Menghilangkan fenomena seks bebas dan
aborsi dari kehidupan saat ini adalah suatu hal yang mustahil jika
sistem kapitalisme tetap dibiarkan tegak. Oleh karena itu, solusi yang
harus dilakukan adalah mengganti sistem kapitalisme yang rusak dan
merusak dengan sistem yang akan memanusiakan manusia. Sistem yang
memanusiakan manusia adalah sistem yang berasal dari Pencipta manusia,
Allah SWT, yaitu Sistem Islam yang telah terbukti keampuhannya dalam
menyelesaikan berbagai problematika kehidupan.
Penerapan Sistem Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara akan mengeliminasi setiap pemikiran yang
rusak dan merusak seperti halnya paradigma yang mendasari munculnya seks
bebas dan aborsi yaitu liberalisme dan sekularisme.
Hanya saja, penerapan sistem Islam
memerlukan upaya yang keras dari kaum muslim untuk menyadarkan umat
tentang urgensi penerapan Sistem Islam dalam bingkai Negara, yaitu
Negara Khilafah Islamiyah. Karena hanya Negara Khilafah Islamiyah saja
yang akan mampu menggerus setiap pemikiran yang rusak dan merusak,
memberikan sanksi bagi para pelaku seks bebas dan aborsi serta bagi
pihak-pihak yang berkontribusi terhadap munculnya seks bebas dan aborsi.
Negara Khilafah akan menghilangkan sarana yang akan merangsang,
menerapkan UU yang akan melibas tuntas seks bebas dan aborsi, menerapkan
sanksi yang tegas, dan membebaskan diri dari tekanan global.
Maka, tegaknya Khilafah merupakan
kebutuhan yang sangat mendesak. Terlebih lagi, menegakkan Khilafah
merupakan kewajiban kaum muslim. Wallahu a‘lam.[]Oleh : Lilis Holisah (Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten)