Rabu, 05 November 2014

Beriringan Bukan Berurutan….


Ada yang nggak pede untuk aktif dalam dakwah karena ngerasa pribadinya aja belon bener. Ini masih mending ya, coba mengukur kapasitas diri sebelum unjuk gigi. Ada yang lebih parah komentarnya untuk urusan dakwah. “Diri loe aja belon tentu bener, udah belagunya benerin orang lain. Ngaca dong!” Waduh!
Kesempurnaan pribadi sering dijadikan ukuran untuk menilai apakah seseorang itu layak aktif dalam dakwah atau nggak. Seolah mereka yang penampilannya gaul dan cenderung ‘amburadul’ belon pantas ngasih tausyiah. Atau yang usianya masih muda dianggap anak bawang yang belon banyak pengalaman sehingga nggak pantas mengingatkan yang lebih tua. Apalagi seorang ulama.
Terkait kesempurnaan pribadi ini, kita layak merenungi pesan dari Imam Hasan al-Bashri. Simak yo!
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian, bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya.Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati orang2 yang bertaqwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan.Maka terus-meneruslah berada pada majelis2 dzikir (majelis ilmu), semoga Allah Subhanahu wa ta’ala mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yg terdengar (di sana) dan kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertaqwalah kalian semua kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Mawai’zh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 185-187)
Rasul juga meminta sahabatnya untuk bersegera menyampaikan risalah Islam ke yang lain tanpa menunggu mereka sempurna.Kebayang nggak, apa jadinya kalo setiap orang menunggu sempurna pribadinya baru berani mengingatkan orang lain. Bisa-bisa, nggak akan ada pengemban dakwah. Karena sebagai manusia, tak luput dari kesalahan dan lupa. Nobody is perfect. Kecuali mereka yang melabeli dirinya ‘NOBODY’. Hehehe… Unsubscribe aja deh jadi muslim kalo cuman mikirin diri sendiri!
Sehingga untuk memperbaiki orang lain, tak harus menunggu diri sendiri baik terlebih dahulu. Idealnya keduanya dilakukan BERIRINGAN bukan BERURUTAN. Sambil kita ikut ngaji untuk memperbaiki diri kita juga aktif berdakwah demi meraih ridho illahi. Doubel pahalanya. Sehingga satu sama lain bisa saling MENGINGATKAN dan MENGUATKAN. Yuk kita ngaji dan dakwah yang wajibnya sama seperti menunaikan shalat lima waktu atau puasa Ramadhan. Pantaskan diri jadi penghuni surga dengan aktif ngaji dan dakwah. Sampai nanti sampai mati. Mulai hari ini. Jangan tunggu malaikat Ijroil datang menghampiri!.

Generasi Nunduk


Menjamurnya pengguna smartphone di kalangan remaja secara telah melahirkan generasi ‘nunduk’. Asyik banget kalo remaja tunduk lantaran patuh guru atau ortu. Lha ini, tunduknya pada smartphone lantaran mata nggak lepas dari layar ponsel. Dimana aja, kapan aja tuh smartphone nggak ketinggalan. Udah kaya dicangkok aja di telapak tangan.
Ngumpul sama temen dan keluarga bukannya ikut dalam pembicaraan malah asyik chatting online via BBM atau whatsapp. Yang lain ngobrol seru-seruan diiringi tawa yang mencairkan suasana, eh dia malah nunduk ngobrol dengan kata-kata tanpa bersuara. Sampe ikut pengajian juga bukannya nyimak tausiyah ustadznya malah kasak-kusuk update status.
Generasi nunduk ini nggak biasa menatap lawan bicara saat berkomunikasi. Karena memang dia nggak berkomunikasi tatap muka dengan temannya tapi dengan mesin. Cuma ngeliat tulisan nama dan avatar sebagai penggantinya. Lucu ya, yang namanya ngobrol kan pasti pake suara. Mata, mulut dan kupingnya dimaksimalkan untuk memperlancar komunikasi. Tapi bagi generasi nunduk, cukup mata dan jarinya aja yang bermain. Mulutnya terkunci. Kupingnya seakan tuli. Lama kelamaan, tuh leher bisa kaku dan gak tegak lagi. Nahl ho!
Remaja Anti Sosial
Keasyikan remaja dengan smartphone menjadikan dirinya anti sosial tanpa disadari. Baginya, pertemanan, kebersamaan, dan komuntias hanya ada di dunia maya. Bukan di dunia nyata. Karena di dunia maya dia bisa terhubung dengan teman tanpa dibatasi waktu dan tempat. Bisa punya banyak friend list dan follower. Ngobrol sepanjang hari dengan mereka. Berbagi suka dan duka. Juga cerita tentang kesehariannya.
Padahal sejatinya, dunia maya itu semu. Dari sekian ribu friend list dan follower, yang kenal kita juga sebaliknya mungkin cuman secuil aja. Saat kita curhat, kita nggak tahu apa ada yang peduli. Karena teman mereka yang lain juga pada curhat termasuk dirinya. Timeline penuh dengan status galau. Udah gitu, di dunia maya setiap orang bebas berbohong ria tentang kehidupan dan identitasnya. Nama akun, avatar, status, atau foto yang diupload tak menjamin originalitasnya. Kita berbagi suka cuman dapat like dan jempol. Kasih tausyiah direspon retweeet dan mention. Bukan ekspresi dari hati layaknya teman sejati.
Generasi nunduk makin terisolir dari lingkungan sekitar. Sendirian di tengah keramaian. Apapun yang dikerjakannya, nggak bisa jauh dari smartphone. Waktu senggang dihabiskan untuk chatting online atau update status di media sosial. Suasana angkutan yang penuh sesak udah kaya kuburan aja. Hening karena masing-masing sibuk dengan smartphonenya. Penumpang sampingnya dianggurin kaya makanan basi. Boro-boro disapa, dilirik juga kagak. Giliran nggak tahu jalan alias tersesat, lebih milih tanya ke google maps, cari info di waze, atau update status di facebook. Padahal di sekitarnya ada orang yang bisa ditanya. Tapi cuek aja kaya hidup sendiri.
Tanpa disadari, generasi nunduk ini kehilangan kemampuannya untuk hidup bersama. Merasa tidak nyaman dengan hubungan sesama manusia dan bertatap muka. Perlahan namun pasti, mulutnya jarang dipake untuk ngobrol. Lantaran mereka lebih banyak berbicara dengan mengetik dan mengobrol dengan membaca. Keberadaannya di dunia nyata makin tersingkir. Pergaulan dengan sesama manusia pun terminimalisir. Padahal, hidup dia sebenarnya ada di dunia nyata. Mikir!
Generasi nunduk juga makin alergi dengan kegiatan silaturahmi. Cari tahu kabar temennya yang menghilang dari peredaran, cukup mention di media sosial. Boro-boro nelepon, kirim sms aja mikir panjang takut pulsanya habis. Apalagi sengaja menjenguk ke rumahnya. Pikirnya, entar juga bakal balas mention kalo udah baikan.
Demam smartphone dikalangan remaja muslim, telah mengikis produktifitas mereka di dunia nyata. Asyik sendiri di tengah keramaian. Persis kaya anak autis. Kalo nggak disikapi dengan bijak, telepon pintar (smartphone) hanya menghasilkan orang-orang yang ‘bodoh’(dumb people). Inilah potret buram gencarnya teknologi yang menyapa remaja. Melenakan. Menghanyutkan. Akhirnya, melahirkan idiot generation.
Cukuplah smartphone sebagai alat bantu komunikasi. Bukan malah menghambat kita untuk bersilaturahmi. Jadikan smartphone sebagai mediator kita berinteraksi dengan dunia maya. Tapi jangan sampai membunuh produktifitas kita di dunia nyata. Smartphone emang bisa mendukung kegiatan dakwah. Tapi berinteraksi langsung dengan orang, jauh lebih berkah. Biar kita tahu reaksi bahasa tubuh, mimik wajah atau emosi lawan bicara yang mengajarkan kita cara hidup bersama dengan sesama manusia. Bukan dengan mesin yang ditunjukkan icon smiley atau emoticon. Waktu hidup kita sangat terbatas. Jangan habiskan waktu dengan berkutat di internet. Karena saat kita sadar, hanya penyesalan yang tersisa. Banyak momen hidup terlewatkan. Tak ada persiapan hadapi masa depan. Tempatkan teknologi di tanganmu. Kita yang kendalikan. Bukan dihatimu. Yang mengendalikan kita. Be wise sob.

Rokok Itu Cowok Banget?


Rokok, benda satu ini masih jadi perdebatan sengit, ciee… perdebatan sengit, kayak acara teve aja. Ya, diantara cowok sendiri maupun antara cowok dan cewek, perbincangan tentang rokok masih panas aja dibicarakan. Bahkan beberapa cewek atau mungkin lebih spesifiknya akhwat, mensyaratkan kalo calon suaminya kelak, bukan perokok. Heum…
Rokok itu cowok banget?
Kayaknya kalo ada larangan merokok, maka yang paling kegirangan adalah kaum cewek. Sebab faktanya memang rokok itu lebih disukai oleh cowok. Mungkin juga ada yang pernah bersoloroh, kalo cowok nggak merokok itu banci. Eh, bener nggak kalo ada yang bilang gitu? Tentu aja nggak bener dong, karena faktanya sekarang nggak sedikit cewek yang juga merokok.
Merokok atau nggak itu nggak ada kaitannya dengan gender. Karena merokok itu perbuatan yang siapapun bisa melakukannya, entah itu cowok atau cewek. Kalo kemudian ada cowok nggak merokok dikatain banci, maka ya perlu dikoreksi lagi, karena bisa jadi yang asli banci alias waria juga merokok. Nah loe?!
Dan kalo banci itu sendiri diidentikkan dengan sikap tengah-tengah antara cowok-cewek, itupun kalo dikaitkan dengan rokok, maka juga sudah bisa terbantahkan. Karena nggak setiap perokok itu cowok jantan, pemberani. Sebaliknya, cowok yang nggak merokok bisa jadi lebih jantan dan pemberani. So, rokok itu cowok banget? Itu mitos palsu.
Untung’-rugi merokok
Loh emang merokok ada untungnya ya? Siapa bilang nggak ada. Kalo nggak ada untungnya, nggak mungkin rokok dipertahankan sampe sekarang, baik oleh perokoknya, pabriknya atau bahkan oleh pemerintah. Saya kebetulan iseng nanya ke salah seorang teman, “kenapa sih merokok?”, teman saya tersebut menjawab “iya, iseng aja ngikutin ‘tradisi’ yang udah ada, kalo rokok identik dengan cowok”. Ada juga teman lain yang menjawab begini “kasihan pabrik rokok yang udah bikin rokok, kalo nggak ada yang beli atau merokok”. Kira-kira begitu alasan mereka.
Maka kira-kira kalo ditimbang-timbang antar untung dan rugi, maka lebih banyak untung yang didapatkan dari adanya rokok, khususnya bagi perokok. Nah, karena negeri ini diatur dengan kapitalisme, dimana penguasa modal nomor satu, maka ya pastinya, rokok tetap akan dipertahankan. Dan itu kebukti, lihat aja di bungkus rokok, hanya ada tulisan himbauan “Merokok merugikan kesehatan…..”
Trus soal kerugian rokok gimana? Yah, kalo kerugian rokok sih juga sudah banyak artikel yang ngejelasin tentang bahaya merokok, terutama zat-zat yang terkandung dalam rokok. Bahkan di beberapa daerah, para kepala daerah membuat Peraturan Daerah tentang KTR (kawasan tanpa rokok), tapi apakah itu membuat para perokok jera? Fakta bisa ngejawab bahwa peraturan itu hanya membuat wadah bagi perokok untuk tetap bisa melampiaskan ‘nafsu’ merokoknya.
Apa alasanmu merokok?
Sigmund Frued, pakar psikoanalisis Barat ini pernah bilang “merokok adalah salah satu kesenangan yang paling hebat dan paling murah dalam hidup” . Pernyataan freud ini perlu dikoreksi, karena faktanya semakin kesini, harga rokok bukan semakin murah. Tapi itu pun nggak membuat para perokok jera untuk menikmati rokok. Dan kalo bener merokok itu salah satu bentuk kesenangan, maka bisa dipastikan bahwa para perokok itu merokok just for fun.
Apalagi kalo kita mau jujur, apa sih yang didapatkan dari rokok? Rokok itu nggak bisa dikategorikan makanan, karena memang faktanya nggak mengenyangkan. Dia hanya berisi asap yang dihirup lalu dikeluarkan lewat hidung atau mulut, hanya itu aja. Kalo pun ada yang membuat puas perokok ketika menikmati rokok adalah rasa gengsi, keren, gentle, mungkin itu aja alasan yang tersisa.
Maka pertimbangkan dengan baik, apa alasan kita bertahan menjadi perokok? Jika itu sebuah perbuatan, maka para ulama juga sudah banyak mengkategorisasikan hukum rokok dalam Islam. Ada ulama yang menghukumi mubah ada juga yang makruh, bahkan ada yang mengatakan haram.
Tidak perlu bicara lagi untung-rugi dari merokok, sebagai muslim pertimbangan kita adalah hukum atau syariat. Jika sudah ada yang menghukumi haram, atau makruh, maka segera saja tinggalkan. Kalo pun merokok itu bersatus sebagai sebuah perbuatan mubah, maka merokok adalah perbuatan yang sia-sia. Dan kalo itu perbuatan yang sia-sia, perhatikan sabda Nabi saw. “Di antara ciri kebaikan seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”(HR. Tirmidzi)
Tapi ingat ya, kalo pun kita meninggalkan rokok bukan karena ada untungnya, biar disukai cewek, itu salah besar. Bagi kaum cowok ninggalin merokok bukan karena cewek, bisa batil niatnya. Tapi meninggalkan atau tidak merokok, bener-bener karena Allah. Kalo masih aja ada yang ngeyel, sambil bilang “mana bisa ninggalin rokok”. Maka dengan berani bin tegas, kita katakana bahwa ini hanya soal pilihan saja. Mau atau tidak, bukan bisa atu tidak. Catet itu!.