Mabes Polri menangkap Deden Martakusumah, pengelola situs pornografi online di Bandung. Dari 14 ribu video syur dagangannya, ada yang diperankan anak-anak dan pelajar (Tempo.co.id, 24/2/14). Lalu dari luar negeri diberitakan, Satinah, TKI asal Semarang terancam hukuman mati karena dituduh membunuh. Pemerintah dan donatur sampai harus menyiapkan diyat Rp12 milyar dari permintaan Rp 21 milyar (detik.com, 28/2/14).
Sungguh, kisah-kisah tragis di atas
bukan kali ini saja terjadi. Terus berulang. Saking “biasanya”,
masyarakat pada akhirnya kehilangan sensitivitas terhadap kondisi
seperti itu. Ibu buang bayi dianggap biasa, sehingga tak lagi
menghebohkan dunia. Anak (perempuan) beradegan mesum juga banyak, tak
lagi menjadi isu nasional. Kasus TKI apalagi, tak lagi menjadi perhatian
publik. Seolah semua itu hanya angin lalu, hilang bersama waktu tanpa
ada perbaikan di masa selanjutnya. Bulan depan atau tahun depan, akan
ada lagi episode-episode seperti di atas, bahkan dalam kasus yang lebih
mengenaskan. Sampai kapan kondisi ini akan terus dibiarkan? Apakah tidak
ada mekanisme untuk memperbaiki keadaan?
Perempuan
Perempuan mana yang tidak trenyuh
membaca berita-berita di atas. Namun, di sisi lain, kejadian tersebut
juga atas peran serta perempuan sebagai pelaku aktif tindak kejahatan.
Lalu mengapa perempuan saat ini menjadi begitu kejam, beringas dan bahkan cenderung amoral?
Fakta nelangsa di atas semakin
menegaskan realita, betapa anak-anak dan perempuan menjadi korban
kebiadaban sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di dunia ini. Ya,
sistem inilah yang bertanggung jawab atas pergeseran karakter perempuan
dari sosok yang berakhlak mulia, lemah lembut dan penuh kasih sayang
menjadi sosok bak monster. Sistem ini telah melahirkan perempuan berotak
jahat dan ratu tega. Bahkan terhadap darah dagingnya sendiri.
Mengapa? Karena sistem ini telah
mengubur dalam-dalam nilai-nilai ketuhanan sehingga membuat manusia
tidak lagi takut pada Sang Pencipta. Secara individu, banyak perempuan
yang tidak terbina dengan nilai-nilai agama dengan sempurna karena
otaknya telah dijajah nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan agama
itu sendiri. Mereka semakin jauh dari halal-haram, pahala dan dosa.
Perempuan lebih menuhankan materi dan
kesenangan duniawi, dibanding sibuk menghambakan diri pada ilahi.
Perempuan alpa mengkaji hal-hal syar’i, tapi sibuk mencari eksistensi
diri. Akibatnya, hampir tidak ada rasa malu lagi meski berbuat keji.
Sementara secara sistem, negara tidak
memiliki mekanisme penjagaan akidah umatnya. Bahkan membiarkan warga
negaranya dijajah pemikiran merusak dari sistem kapitalisme seperti:
keseteraan dan keadilan gender, gaya hidup hedonis, permisif, free sex,
dll. Akibat dijajah pemikiran sekuler, perempuan pun lebih tunduk pada
ego pribadinya, sehingga berbuat maksiat pun tidak takut dilaknat.
Negara juga tidak memiliki perangkat
hukum yang membuat jera pelaku tindak kejahatan, termasuk penjahat
perempuan. Mereka hanya di penjara, dibina dengan bekal ketrampilan
seadanya, lalu dibebaskan begitu saja.
Sejarah Kelam
Bila kita menengok sejarah Khilafah
Islamiyah yang agung dalam naungan negara Islam, hampir tidak
terkabarkan kisah perempuan-perempuan kejam yang tega berbuat di luar
batas-batas kemanusiaan. Salah satu kisah mahsyur ada di zaman
Rasulullah SAW, tentang seorang perempuan bermaksiat hingga melakukan
dosa besar yakni berzina, namun segera bertobat dan meminta hukuman
rajam. Hukuman itu pun dijatuhkan setelah Al-Ghomidiyah melahirkan anak,
menyusui dan menyapihnya.
Taubat yang menghapuskan dosa zina dan surga balasannya.
Sungguh, sosok Muslimah yang benar-benar takut laknat Allah SWT hingga rela berpisah dengan anak kandungnya demi menebus dosa.
Ini berbeda dengan sejarah kelam
penerapan sistem di luar Islam, yakni sistem sekuler, baik kerajaan,
republik maupun sejenisnya. Tercatat dalam sejarah, jejak
perempuan-perempuan jahat yang bertanggung jawab atas berbagai tindakan
keji.
Dalam rilis 10 perempuan paling kejam di
dunia misalnya, tersebutlah perempuan-perempuan haus darah. Seperti
Queen Mary I, anak tunggal dari Raja Henry VIII and Catherine of Aragon.
Ia dijuluki “Bloody Mary” alias Mary Berdarah karena bertanggung jawab
atas hukuman gantung orang-orang Protestan. Sebanyak 800 protestan
meninggalkan Inggris karena takut digantung.
Ada pula sosok Myra Hindley dan Ian
Brady, bertanggung jawab pada “pembunuhan Moors” di kawasan Manchester,
Britain pada pertengahan 1960-an. Keduanya bertanggung jawab atas
penculikan, pelecehan seksual, penyiksaan dan pembunuhan terhadap tiga
anak-anak di bawah usia 12 tahun dan 2 remaja 16 dan 17 tahun.
Lalu Beverly Allitt, lahir 1968, adalah
salah satu pembunuh paling terkenal di Inggris. Bekerja sebagai juru
rawat pediatrik, ia bertanggung jawab atas tewasnya 4 anak-anak dan luka
serius 5 lainnya. Caranya, dengan menyuntikkan insulin atau kalium
untuk menghentikan detak jantung dan menyesakkan nafas para korban.
Ada lagi Gunness Belle, hidup 1859-1931.
Salah satu pembunuh wanita paling produktif keturunan Norwegia. Ia
membunuh suami dan semua anak-anaknya pada masa yang berlainan, teman
lelaki dan dua orang anak perempuan, Myrtle dan Lucy. Masih banyak
contoh lainnya yang menjadi cermin betapa buruknya perilaku perempuan
yang tidak tersentuh akidah Islam.
Memang, peluang untuk berbuat jahat
selalu ada di setiap masa, baik pelakunya Muslim maupun non Muslim, baik
laki-laki maupun perempuan. Namun, terciptanya individu yang bertakwa,
terjaganya akidah oleh negara dan terwujudnya sistem kehidupan yang
menjunjung tinggi akhlak, moral dan kebajikan, semestinya mampu mengeram
tindak kejahatan.
Islam memiliki mekanisme untuk mencegah
lahirnya perempuan-perempuan (juga laki-laki) untuk menjadi sosok kejam
seperti itu. Karena itu, sudah seharusnya sistem sekuler yang hanya
melahirkan kejahatan ini diganti dengan sistem Islam.
Khususnya sosok perempuan, mengembalikan
khittah mereka pada karakter alaminya yang mulia, yang memiliki naluri
kemanusiaan halus dan menjunjung moral. Perempuan yang senantiasa takut
pada Sang Pencipta sehingga berusaha lurus dalam segala amalnya.