Rabu, 29 Oktober 2014

Hijaber Jangan Merana

Assalamu’alaykum!
Salam Kamis Seru!
Muslimah yang dirahmati Allah, kalau boleh saya membagi fase hijab di tanah air maka ada tiga tahapan. Anda boleh tidak setuju, boleh juga tidak. Fase pertama, adalah ketika para muslimah dihadang oleh peraturan sekuler yang zalim untuk berhijab. Sebelum tahun 90-an berkerudung masih menjadi hal yang asing di tengah kaum muslimin, termasuk para muslimah. Kerudung yang saya ingat ketika kecil adalah kerudung ibu hajah dan para ustadzah berupa ciput atau tutup kepala menyerupai blangkon. Ada juga yang menjuntaikan kain ke kepalanya sembari tetap terlihat sebagian besar kepala, telinga dan rambutnya juga lehernya. Di sini sekulerisme bertahta di atas keindahan tubuh wanita.
Fase kedua, adalah menguatnya kesadaran untuk berhijab secara sempurna. Ini diawali pada kisaran awal tahun 90-an. Pada masa ini muslimah mulai berjuang untuk menegakkan kehormatannya dengan berhijab. Di kota saya tinggal, Bogor, beberapa muslimah berjuang sepenuh tenaga di sekolah mereka untuk tetap bisa melaksanakan perintah Allah SWT.  Mereka didiskriditkan; tak boleh masuk kelas, tak bisa mengikuti ujian, dan mendapat perlakuan sinis dari beberapa guru. Alhamdulillah akhirnya perjuangan itu membuahkan  keberhasilan. Sujud syukurpun dilakukan di berbagai tempat. Setelah berhasil di fase ini jilbab pun tumpah ruah di seantero Nusantara. Di sekolah, di kampus, di perkantoran, dimana-mana.
Tapi keleluasaan seringkali melenakan. Sedangkan keterlenaan adalah jalan menukik menuju keteledoran dan kesalahan. Itulah yang dirasakan di fase ketiga, yaitu sekarang. Hijab adalah tanda ketundukkan kepada Allah SWT. akan perintah menutup aurat bagi kaum muslimah. Ketundukkan itu ditunjukkan kaum muslimah di Madinah seperti kesaksian Aisyah ra. “Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada para istri shahabat Muhajirin. Ketika ayat tentang jilbab turun, mereka robek kain korden lalu mereka kenakan sebagai jilbab sehingga mereka seperti burung gagak”.
Ketaatan dan ketundukkan adalah strong why mengapa seorang muslimah harus berhijab. Untuk itu ia rela tutupi kemolekan tubuhnya dalam balutan kerudung dan jilbab. Tanpa lekukan, tiada transparan dan menghilangkan keinginan untuk mempertontonkan kecantikan ke hadapan lelaki bukan mahromnya.
Tapi keleluasaan sering menggiring orang pada keterlenaan yang berujung pada kesalahan. Termasuk dalam berhijab. Dengan menyesal saya harus mengatakan bahwa banyak muslimah yang berhijab tapi tak mau kehilangan pesona kecantikannya. Bahkan hijab disalahgunakan untuk memperkuat aura kecantikan.
Benar hijab memang tak akan menghilangkan aura kewanitaan seorang muslimah. Justru kian memperkuat status kewanitaan seseorang muslimah. Tapi tidak tepat bila hijab digunakan untuk menonjolkan kecantikan seorang perempuan. Hal itu terjadi manakala seorang hijaber bertabarruj lewat penampilannya lewat berbagai gaya dan asesoris pakaian mereka.
Belum lagi pakaian yang digunakan pun belum memenuhi syarat sah busana muslimah yakni kerudung dan jilbab. Tak transparan, tak menampilkan lekukan tubuh, dan jilbab itu berupa gamis atau baju panjang hingga ke mata kaki.
Dengan menyesal saya juga harus mengatakan tidak sedikit narasumber yang semena-mena menafsirkan model dan bentuk hijab. Boleh berpantalon, boleh menggunakan kaos, boleh dengan bahan yang membentuk lekukan tubuh, dsb. Para narasumber ini cenderung menggampang-gampangkan urusan ibadah. Padahal syariat telah menjelaskan dengan gamblang model dan bentuk busana muslimah.
Ditambah lagi bermunculan aneka lomba yang mengeksploitasi kecantikan para muslimah berhijab ini.  Mottonya: meski berhijab kamu tetap bisa kelihatan cantik di depan banyak lelaki. Makin kaburlah misi dari ajaran hijab yang sebenarnya bermaksud memuliakan wanita ini.
Pada fase ini secara pelan tapi mantap kapitalisme bisa merasuk ke dalam ajaran berhijab.
Hijab tak menghilangkan kesempatan wanita tonjolkan kecantikan
Hijab tak membuat wanita tak bisa keluarkan daya pikat
Hijab tak membuat wanita tak bisa bersolek
Hijab tak membuat wanita tak bisa menggoda lelaki mana saja
Astaghfirullah al-adzim. Semoga ini segera disadari para muslimah.

Dua Berhala Wanita : Harta dan Tahta


Selama ini memang ada anggapan perempuan adalah sosok materialistis. Istilah gaulnya cewek matre. Mana ada perempuan yang tak tergiur dengan harta. Cari suamipun yang kaya raya. Tak peduli duda, sudah bersuami atau tua renta, yang penting nafkah terjamin.
Apalagi, biaya hidup perempuan saat ini sangat tinggi. Fashion harus up to date dan bermerek. Tas dan sepatu wajib branded original. Perawatan tubuh mulai ujung rambut sampai ujung kaki butuh ratusan ribu rupiah rutin. Kosmetik pemutih hingga produk pelangsing jadi anggaran belanja wajib.
Kaum lelaki pun seperti sudah mahfum dengan paradigma ini. Mereka paham betul dengan ungkapan: ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. Ya, kaum adam tahu benar memanfaatkan kelemahan perempuan. Umpan berupa materi hampir pasti akan selalu mulus ¨memelet¨ kaum hawa.
Bagi laki-laki, buruk rupa atau usia renta bukan kendala. Asal harta berlimpah, wanita–yang paling cantik dan seksi sekalipun—mudah digaet. Itu pula yang mendorong laki-laki bekerja keras–kalau perlu culas—demi menumpuk harta. Tak peduli jalan haram, yang penting hasrat tersalurkan. Sungguh bukan perilaku terpuji, apalagi islami.
Tanpa bermaksud merendahkan para perempuan yang terseret dalam pusaran kasus di atas, terbukti harta memang telah menggelapkan mata. Norma-norma kebaikan pun dilanggar. Terlebih syariah Islam, tak lagi dihiraukan.
Itu semua terjadi karena para perempuan kebanyakan sudah dicuci otaknya oleh pemahaman sekuler-kapitalis yang memberhalakan harta. Bagi mereka, kebahagiaan adalah diperolehnya sebanyak mungkin materi. Suami kaya, rumah bagus, mobil mewah hingga perhiasan mentereng adalah tujuannya.
Bahkan, jika suami tak mampu memberikannya, dia sendirilah yang akan maju untuk memperebutkan harta dan tahta. Bertameng ¨keadilan dan kesetaraan gender¨, saat ini semakin banyak perempuan disibukkan mencari pundi-pundi materi dengan bekerja atau menjadi pejabat. Bahkan, rela sekadar mengeksploitasi tubuhnya untuk kepuasan kaum Adam dengan imbalan menggiurkan.
Pembela Kebenaran
Dalam filosofi masyarakat Jawa, posisi istri terhadap suami diistilahkan: ¨surgo nunut, neraka katut” (surga ikut, neraka terbawa). Artinya, masa depan istri itu tergantung suami. Bila suami berperilaku baik hingga masuk surga, istri pun akan serta. Sebaliknya, bila suami masuk neraka, istri akan terbawa juga.
Memang, istri atau suami akan mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing. Namun, idealnya antara suami dan istri saling membentengi diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa sehingga sama-sama bisa menuju surga. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (TQS Tahrim 66:6)
Semestinya, para istri menjadi pengerem para suami agar berada pada rel kejujuran dalam melaksanakan tugas pernafkahannya. Jangan serta merta bangga ketika suami berhasil meningkatkan uang belanja, tapi layak untuk curiga. Apalagi jika suami ¨hanya¨ berstatus pegawai dengan gaji rutin yang bisa dihitung.
Banyak kasus, pegawai atau pejabat korupsi karena dirongrong istri yang tak pernah puas dengan jatah uang bulanan. Apalagi para istri yang selalu memandang ¨rumput tetangga lebih hijau dari rumput rumahnya.¨
Demikian pula para perempuan lajang, jangan mudah terpana dengan kemewahan yang disodorkan kaum Adam. Jangan menjual harga diri dengan begitu mudah, sekadar diiming-imingi hadiah yang mencurigan, sekalipun tanpa pamrih. Hari gini, tidak ada makan siang gratis. Tak ada laki-laki yang begitu royal menggelontorkan harta bendanya jika tanpa maksud tersembunyi. Toh cepat atau lambat, akhirnya terbongkar juga kebusukannya.
Muslimah Zuhud
Tak ada larangan bagi wanita untuk menikmati dunia. Harta adalah salah satu kesenangannya. Mengoleksi baju, tas, sepatu atau rumah mewah tidak diharamkan, selama diperoleh dengan jalan yang diridhoi Allah SWT. Namun ingatlah, harta bukanlah segalanya. Harta tak akan menyelamatkan diri di akhirat jika tidak dimanfaatkan untuk kebajikan.
Dalam hal ini, mari kita meneladani para shahabiyah atau generasi muslimah islam terdahulu. Tak sedikit dari mereka yang berlimpah harta, namun tetap menempatkan ketakwaan di atas segalanya. Bahkan, lebih memilih zuhud dibanding bergelimang harta.
Salah satunya adalah kisah istri Said bin Amir, Gubernur Provinsi Himash di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Suatu ketika, Khalifah Umar meminta delegasi dari Provinsi Himash untuk menuliskan daftar fakir miskin yang berhak diberi bantuan dari kas negara. Umar heran karena terdapat nama Said bin Amir. “Siapa Said bin Amir ini?” tanya Umar. “Gubernur kami,” jawab mereka. “Apakah gubernur kalian fakir?” selidik Umar. Mereka membenarkan, “Demi Allah, kami jadi saksi.” Umar menangis, kemudian memasukkan seribu dinar ke dalam sebuah kantong dan meminta mereka menyerahkannya kepada sang gubernur.
Menerima sekantong uang berisi seribu dinar, Said langsung membaca: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, seolah satu musibah besar menimpanya. Istri gubernur bertanya: “Apa yang terjadi? Apakah Amirul Mukminin wafat?” “Lebih besar dari itu,” jawab Said. “Telah datang dunia kepadaku untuk merusak akhiratku.”
“Bebaskan dirimu dari malapetaka itu,” saran istrinya, tanpa mengetahui bahwa malapetaka itu adalah uang seribu dinar. Said bertanya: “Apakah kamu mau membantuku?” Istrinya mengangguk. Ia meminta istrinya untuk segera membagikan seribu dinar itu untuk fakir miskin, tanpa sisa untuk keluarganya. Sungguh perilaku istri yang layak dipuji. Wallahuálam.

Ekspresi Kasih Sayang


“Suami mah pelit memuji. Nggak ada romantis-romantisnya,” kata Ummu Hafiz dalam sebuah percakapan. Hm, mungkin banyak ibu-ibu yang mengalami hal serupa. Dalam hati membatin, ini suami sebenarnya cinta tidak ya, kok tak pernah mengungkapkan rasa sayangnya.
Sementara, selama ini sudah telanjur teropini bahwa para wanita itu menghendaki pasangan yang romantis, penuh kejutan dan perhatian. Tapi, boro-boro mengatakan “aku mencintaimu” kepada pasangan, tanggal pernikahan saja lupa.
Nah, berdasar sharing dengan beberapa ibu-ibu, disimpulkan bahwa kebanyakan para suami –khususnya suami pengemban dakwah—merasa malu, jaim atau aneh jika harus menunjukkan ekspresi kasih sayangnya secara terbuka pada sang istri. Makanya, kaum istri juga tidak perlu terlalu berangan-angan memiliki suami yang romantis bak dongeng-dongeng Princess.
Sebaliknya, para istri juga seharusnya introspeksi, jangan-jangan selama ini juga tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya pada pasangan? Jangan-jangan para suami sebenarnya juga membayangkan mendapatkan istri yang romantis-romantisan?
Ah, sudahlah. Yang jelas, suami atau istri memang harus saling berkasih sayang. Entah diekspresikan secara lugas atau tidak, tergantung kebutuhan, situasi dan kondisi. Tergantung juga pelakunya, karena setiap pribadi unik dengan karakternya masing-masing. Perilaku suka memuji atau romantis itu tidak bisa dipaksakan pada setiap orang. Bahkan akan menjadi tidak pas, bahkan terkesan norak jika ekspresi kasih sayang itu disampaikan dengan cara dibuat-buat dan dalam situasi yang tidak tepat.
Bukannya mendapat respons positif pasangan, kadang malah dicurigai macam-macam. Dinilai negatif, seperti ungkapan ini: “tumben nih suami kok jadi romantis, jangan-jangan nikah lagi.”
Yang pasti, tanpa diucapkan dengan kata-kata, banyak sinyalemen yang menunjukkan bahwa pasangan sejatinya sangat menyayangi Anda. Misalnya, di depan Anda ia tidak pernah memuji, tapi di luar sana ia menceritakan kelebihan-kelebihan Anda dalam hal kepribadian, mengurus rumah tangga dan mendidik anak.
Termasuk di depan mertua Anda, pasangan memuji tanpa sepengetahuan Anda. Bungkamnya pasangan karena menutupi kekurangan-kekurangan Anda di hadapan mertua, kerabat, teman atau kenalan adalah bukti ia menyayangi Anda. Ia tidak ingin aib Anda terkuak.
Selain itu, pemberian izin dan dukungannya pada kegiatan positif Anda, juga bukti kasih sayangnya. Kerelaannya mengorbankan waktu kebersamaan dengan Anda, mengantar-jemput dengan tulus-ikhlas, membantu pengasuhan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga, cukup menjadi dorongan moral yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Begitulah, definisi kasih sayang memang tidak eksak. Tak dapat terungkap dengan kata, tapi bisa dibuktikan dengan perbuatan. Maka peliharalan dengan bumbu komunikasi yang hangat dan bersahabat. insya Allah kasih sayang akan semakin melekat.