Menjamurnya pengguna smartphone di kalangan remaja secara telah melahirkan generasi ‘nunduk’. Asyik banget kalo remaja tunduk lantaran patuh guru atau ortu. Lha ini, tunduknya pada smartphone lantaran mata nggak lepas dari layar ponsel. Dimana aja, kapan aja tuh smartphone nggak ketinggalan. Udah kaya dicangkok aja di telapak tangan.
Ngumpul sama temen dan keluarga bukannya
ikut dalam pembicaraan malah asyik chatting online via BBM atau
whatsapp. Yang lain ngobrol seru-seruan diiringi tawa yang mencairkan
suasana, eh dia malah nunduk ngobrol dengan kata-kata tanpa bersuara.
Sampe ikut pengajian juga bukannya nyimak tausiyah ustadznya malah
kasak-kusuk update status.
Generasi nunduk ini nggak biasa menatap
lawan bicara saat berkomunikasi. Karena memang dia nggak berkomunikasi
tatap muka dengan temannya tapi dengan mesin. Cuma ngeliat tulisan nama
dan avatar sebagai penggantinya. Lucu ya, yang namanya ngobrol kan pasti
pake suara. Mata, mulut dan kupingnya dimaksimalkan untuk memperlancar
komunikasi. Tapi bagi generasi nunduk, cukup mata dan jarinya aja yang
bermain. Mulutnya terkunci. Kupingnya seakan tuli. Lama kelamaan, tuh
leher bisa kaku dan gak tegak lagi. Nahl ho!
Remaja Anti Sosial
Keasyikan remaja dengan smartphone
menjadikan dirinya anti sosial tanpa disadari. Baginya, pertemanan,
kebersamaan, dan komuntias hanya ada di dunia maya. Bukan di dunia
nyata. Karena di dunia maya dia bisa terhubung dengan teman tanpa
dibatasi waktu dan tempat. Bisa punya banyak friend list dan follower.
Ngobrol sepanjang hari dengan mereka. Berbagi suka dan duka. Juga cerita
tentang kesehariannya.
Padahal sejatinya, dunia maya itu semu.
Dari sekian ribu friend list dan follower, yang kenal kita juga
sebaliknya mungkin cuman secuil aja. Saat kita curhat, kita nggak tahu
apa ada yang peduli. Karena teman mereka yang lain juga pada curhat
termasuk dirinya. Timeline penuh dengan status galau. Udah gitu, di
dunia maya setiap orang bebas berbohong ria tentang kehidupan dan
identitasnya. Nama akun, avatar, status, atau foto yang diupload tak
menjamin originalitasnya. Kita berbagi suka cuman dapat like dan jempol.
Kasih tausyiah direspon retweeet dan mention. Bukan ekspresi dari hati
layaknya teman sejati.
Generasi nunduk makin terisolir dari
lingkungan sekitar. Sendirian di tengah keramaian. Apapun yang
dikerjakannya, nggak bisa jauh dari smartphone. Waktu senggang
dihabiskan untuk chatting online atau update status di media sosial.
Suasana angkutan yang penuh sesak udah kaya kuburan aja. Hening karena
masing-masing sibuk dengan smartphonenya. Penumpang sampingnya
dianggurin kaya makanan basi. Boro-boro disapa, dilirik juga kagak.
Giliran nggak tahu jalan alias tersesat, lebih milih tanya ke google
maps, cari info di waze, atau update status di facebook. Padahal di
sekitarnya ada orang yang bisa ditanya. Tapi cuek aja kaya hidup
sendiri.
Tanpa disadari, generasi nunduk ini
kehilangan kemampuannya untuk hidup bersama. Merasa tidak nyaman dengan
hubungan sesama manusia dan bertatap muka. Perlahan namun pasti,
mulutnya jarang dipake untuk ngobrol. Lantaran mereka lebih banyak
berbicara dengan mengetik dan mengobrol dengan membaca. Keberadaannya di
dunia nyata makin tersingkir. Pergaulan dengan sesama manusia pun
terminimalisir. Padahal, hidup dia sebenarnya ada di dunia nyata. Mikir!
Generasi nunduk juga makin alergi dengan
kegiatan silaturahmi. Cari tahu kabar temennya yang menghilang dari
peredaran, cukup mention di media sosial. Boro-boro nelepon, kirim sms
aja mikir panjang takut pulsanya habis. Apalagi sengaja menjenguk ke
rumahnya. Pikirnya, entar juga bakal balas mention kalo udah baikan.
Demam smartphone dikalangan remaja
muslim, telah mengikis produktifitas mereka di dunia nyata. Asyik
sendiri di tengah keramaian. Persis kaya anak autis. Kalo nggak disikapi
dengan bijak, telepon pintar (smartphone) hanya menghasilkan
orang-orang yang ‘bodoh’(dumb people). Inilah potret buram gencarnya
teknologi yang menyapa remaja. Melenakan. Menghanyutkan. Akhirnya,
melahirkan idiot generation.
Cukuplah smartphone sebagai alat bantu
komunikasi. Bukan malah menghambat kita untuk bersilaturahmi. Jadikan
smartphone sebagai mediator kita berinteraksi dengan dunia maya. Tapi
jangan sampai membunuh produktifitas kita di dunia nyata. Smartphone
emang bisa mendukung kegiatan dakwah. Tapi berinteraksi langsung dengan
orang, jauh lebih berkah. Biar kita tahu reaksi bahasa tubuh, mimik
wajah atau emosi lawan bicara yang mengajarkan kita cara hidup bersama
dengan sesama manusia. Bukan dengan mesin yang ditunjukkan icon smiley
atau emoticon. Waktu hidup kita sangat terbatas. Jangan habiskan waktu
dengan berkutat di internet. Karena saat kita sadar, hanya penyesalan
yang tersisa. Banyak momen hidup terlewatkan. Tak ada persiapan hadapi
masa depan. Tempatkan teknologi di tanganmu. Kita yang kendalikan. Bukan
dihatimu. Yang mengendalikan kita. Be wise sob.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar