Rabu, 05 November 2014

Generasi Nunduk


Menjamurnya pengguna smartphone di kalangan remaja secara telah melahirkan generasi ‘nunduk’. Asyik banget kalo remaja tunduk lantaran patuh guru atau ortu. Lha ini, tunduknya pada smartphone lantaran mata nggak lepas dari layar ponsel. Dimana aja, kapan aja tuh smartphone nggak ketinggalan. Udah kaya dicangkok aja di telapak tangan.
Ngumpul sama temen dan keluarga bukannya ikut dalam pembicaraan malah asyik chatting online via BBM atau whatsapp. Yang lain ngobrol seru-seruan diiringi tawa yang mencairkan suasana, eh dia malah nunduk ngobrol dengan kata-kata tanpa bersuara. Sampe ikut pengajian juga bukannya nyimak tausiyah ustadznya malah kasak-kusuk update status.
Generasi nunduk ini nggak biasa menatap lawan bicara saat berkomunikasi. Karena memang dia nggak berkomunikasi tatap muka dengan temannya tapi dengan mesin. Cuma ngeliat tulisan nama dan avatar sebagai penggantinya. Lucu ya, yang namanya ngobrol kan pasti pake suara. Mata, mulut dan kupingnya dimaksimalkan untuk memperlancar komunikasi. Tapi bagi generasi nunduk, cukup mata dan jarinya aja yang bermain. Mulutnya terkunci. Kupingnya seakan tuli. Lama kelamaan, tuh leher bisa kaku dan gak tegak lagi. Nahl ho!
Remaja Anti Sosial
Keasyikan remaja dengan smartphone menjadikan dirinya anti sosial tanpa disadari. Baginya, pertemanan, kebersamaan, dan komuntias hanya ada di dunia maya. Bukan di dunia nyata. Karena di dunia maya dia bisa terhubung dengan teman tanpa dibatasi waktu dan tempat. Bisa punya banyak friend list dan follower. Ngobrol sepanjang hari dengan mereka. Berbagi suka dan duka. Juga cerita tentang kesehariannya.
Padahal sejatinya, dunia maya itu semu. Dari sekian ribu friend list dan follower, yang kenal kita juga sebaliknya mungkin cuman secuil aja. Saat kita curhat, kita nggak tahu apa ada yang peduli. Karena teman mereka yang lain juga pada curhat termasuk dirinya. Timeline penuh dengan status galau. Udah gitu, di dunia maya setiap orang bebas berbohong ria tentang kehidupan dan identitasnya. Nama akun, avatar, status, atau foto yang diupload tak menjamin originalitasnya. Kita berbagi suka cuman dapat like dan jempol. Kasih tausyiah direspon retweeet dan mention. Bukan ekspresi dari hati layaknya teman sejati.
Generasi nunduk makin terisolir dari lingkungan sekitar. Sendirian di tengah keramaian. Apapun yang dikerjakannya, nggak bisa jauh dari smartphone. Waktu senggang dihabiskan untuk chatting online atau update status di media sosial. Suasana angkutan yang penuh sesak udah kaya kuburan aja. Hening karena masing-masing sibuk dengan smartphonenya. Penumpang sampingnya dianggurin kaya makanan basi. Boro-boro disapa, dilirik juga kagak. Giliran nggak tahu jalan alias tersesat, lebih milih tanya ke google maps, cari info di waze, atau update status di facebook. Padahal di sekitarnya ada orang yang bisa ditanya. Tapi cuek aja kaya hidup sendiri.
Tanpa disadari, generasi nunduk ini kehilangan kemampuannya untuk hidup bersama. Merasa tidak nyaman dengan hubungan sesama manusia dan bertatap muka. Perlahan namun pasti, mulutnya jarang dipake untuk ngobrol. Lantaran mereka lebih banyak berbicara dengan mengetik dan mengobrol dengan membaca. Keberadaannya di dunia nyata makin tersingkir. Pergaulan dengan sesama manusia pun terminimalisir. Padahal, hidup dia sebenarnya ada di dunia nyata. Mikir!
Generasi nunduk juga makin alergi dengan kegiatan silaturahmi. Cari tahu kabar temennya yang menghilang dari peredaran, cukup mention di media sosial. Boro-boro nelepon, kirim sms aja mikir panjang takut pulsanya habis. Apalagi sengaja menjenguk ke rumahnya. Pikirnya, entar juga bakal balas mention kalo udah baikan.
Demam smartphone dikalangan remaja muslim, telah mengikis produktifitas mereka di dunia nyata. Asyik sendiri di tengah keramaian. Persis kaya anak autis. Kalo nggak disikapi dengan bijak, telepon pintar (smartphone) hanya menghasilkan orang-orang yang ‘bodoh’(dumb people). Inilah potret buram gencarnya teknologi yang menyapa remaja. Melenakan. Menghanyutkan. Akhirnya, melahirkan idiot generation.
Cukuplah smartphone sebagai alat bantu komunikasi. Bukan malah menghambat kita untuk bersilaturahmi. Jadikan smartphone sebagai mediator kita berinteraksi dengan dunia maya. Tapi jangan sampai membunuh produktifitas kita di dunia nyata. Smartphone emang bisa mendukung kegiatan dakwah. Tapi berinteraksi langsung dengan orang, jauh lebih berkah. Biar kita tahu reaksi bahasa tubuh, mimik wajah atau emosi lawan bicara yang mengajarkan kita cara hidup bersama dengan sesama manusia. Bukan dengan mesin yang ditunjukkan icon smiley atau emoticon. Waktu hidup kita sangat terbatas. Jangan habiskan waktu dengan berkutat di internet. Karena saat kita sadar, hanya penyesalan yang tersisa. Banyak momen hidup terlewatkan. Tak ada persiapan hadapi masa depan. Tempatkan teknologi di tanganmu. Kita yang kendalikan. Bukan dihatimu. Yang mengendalikan kita. Be wise sob.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar