Ada
dua orang Abege yang kontras kesehariannya. Abege A dia banyak galau.
Kerjaannya bikin masalah. Hidupnya amburadul nggak teratur. Bangun tidur
selalu selalu kesiangan. boro-boro Salat Dhuha, Salat Shubuh aja kehabisan waktunya. Karena bangun kesiangan, berangkat sekolah pun kesiangan karena belum nyiapin buku-buku pelajaran. Malamnya malah keluyuran, pacaran, ato main PS. Di
Sekolah juga, dia nggak punya prestasi. Prestasinya hanya bikin onar.
Kemana-mana selalu punya musuh. Itulah kesibukannya. Intinya abege yang
satu ini kelakukannya alay bin lebay. Kerjaannya cuma bikin masalah bukan menyelesaikan masalah.
Sementara Abege B kebalikan dari Abege
A. Abege B selalu belajar mendisiplinkan diri. Dia hidup teratur tanpa
disuruh-suruh. Dia hidup teratur karena kesadaran dirinya. Dia merasa
perlu itu. Dia merasa harus hidup teratur. Dia punya misi dan rencana
hidup. Misinya yang besar itu, tentu dipengaruhi oleh keteraturan dia
dalam melakukan hal-hal yang kecil. Dia berusaha salat tepat waktu.
Berusaha menjalankannya dengan berjamaah di masjid. Dia juga menambahnya
dengan rawatib dan salat sunnah lain seperti Dhuha dan Tahajjud. Dia
tahu prioritas amal, kapan saatnya bermain, kapan saatnya belajar, waktu
buat silaturrahmi, dan waktu-waktu lainnya.
Nah, Sob. Silakan nilai sendiri abege mana yang nantinya bakal hidup happy? Kalo kit lihat apa yang mereka kerjakan, tentu yang bakal happy, baik di dunia maupun di kehidupan berikutnya (akhirat) ya jelas Abege B.
Dua sikap di atas menunjukkan pada kita, sebetulnya hidup nyar’i (hidup berdasarkan Syariat Islam) itu membuat manusia jadi lebih bermakna, terarah, dan happy ending (husnul khatimah). Sebaliknya, jika nggak mau hidup nyar’i kita nggak happy alias sad ending (suul khatimah).
Tentunya kasus abege A, bukanlah final. Manusia kan berproses, jika
dalam perjalanan, si Abege A ada upaya dia untuk berubah dan dia memilih
untuk berubah, tentu dia pun berpeluang happy ending. Hanya
saja, perlu ditekankan apakah dia mau memilih untuk berubah atau nggak.
Allah memang memberikan pilihan pada manusia apakah mau taat atau tetap
bermaksiat.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanya.” [TQS. Asy-Syam (91): 8]
Contoh di atas baru hidup nyar’i secara individu. Hidup nyar’i individu aja udah enak banget kelihatannya. Nah, permasalahannya tidak selesai sampai di individu. Ketika individu sudah milih hidup nyar’i, nggak ujug-ujug
atau otomatis masyarakat dan kehidupan bernegara jadi nyar’i. Jika
melihat kenyataan di masyarakat dan negara kita saat ini, hidup yang
benar-benar nyar’i (Islam kaffah/totalitas) belum terlihat sama sekali.
Kini kita masih melihat fakta masyarakat
kita yang sakit yang rasanya semakin hari semakin tambah rusak.
Perzinaan dianggap lumrah, hamil di luar nikah dianggap trendi. Pacaran
dianggap keren. Masyarakat kita sudah kehilangan kontrol sosial. Kita
hidup serba permisif. Dengan dalih kebebasan dan hak asasi, semua jenis
maksiat bebas dilakukan.
Pun dalam kehidupan bernegara. Negara
kita makin amburadul. SDA-nya nyaris begitu mudahnya diperebutkan
layaknya seperti hidangan yang sudah tersaji di meja makan. Para
perampok itu sudah mengkapling-kapling kekayaan kita. Sementara
pemerintah nggak bisa berbuat apa, malah mirisnya merekalah yang jadi
corong untuk memuluskan perampokan SDA kita.
Itu
hanya satu dua kasus saja. Masih begitu bejubel kasus masyarakat dan
negara yang semuanya berujung pada cara hidup kita yang nggak nyar’i.
Sehingga kita pun benar-benar berada di ambang kehancuran. Kita hancur
dan menjadi umat yang terhina karena perbuatan kita sendiri, yaitu
maksiat karena nggak mau hidup nyari’i. Kerusakan yang kita alami sudah
multidimensi, baik itu fisik maupun nonfisik, dan dalam pelbagai lini
kehidupan.
“Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).” [TQS. Ar-Ruum (30): 41]
Karena itu, sudah sepantasnya kita merenung, mau sampai kapan kita hidup nggak nyar’i? Mau sampai kapan kita hidup nggak happy-happy? Yuk, segeralah kita Kembali, KEMBALI DENGAN SEPENUH HATI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar