Sabtu, 15 November 2014

Nggak Nyar’i Nggak Happy



Ada dua orang Abege yang kontras kesehariannya. Abege A dia banyak galau. Kerjaannya bikin masalah. Hidupnya amburadul nggak teratur. Bangun tidur selalu selalu kesiangan. boro-boro Salat Dhuha, Salat Shubuh aja kehabisan waktunya. Karena bangun kesiangan, berangkat sekolah pun kesiangan karena belum nyiapin buku-buku pelajaran.  Malamnya malah keluyuran, pacaran, ato main PS. Di Sekolah juga, dia nggak punya prestasi. Prestasinya hanya bikin onar. Kemana-mana selalu punya musuh. Itulah kesibukannya. Intinya abege yang satu ini kelakukannya alay bin lebay. Kerjaannya cuma bikin masalah bukan menyelesaikan masalah.

Sementara Abege B kebalikan dari Abege A. Abege B selalu belajar mendisiplinkan diri. Dia hidup teratur tanpa disuruh-suruh. Dia hidup teratur karena kesadaran dirinya. Dia merasa perlu itu. Dia merasa harus hidup teratur. Dia punya misi dan rencana hidup. Misinya yang besar itu, tentu dipengaruhi oleh keteraturan dia dalam melakukan hal-hal yang kecil. Dia berusaha salat tepat waktu. Berusaha menjalankannya dengan berjamaah di masjid. Dia juga menambahnya dengan rawatib dan salat sunnah lain seperti Dhuha dan Tahajjud. Dia tahu prioritas amal, kapan saatnya bermain, kapan saatnya belajar, waktu buat silaturrahmi, dan waktu-waktu lainnya.

Nah, Sob. Silakan nilai sendiri abege mana yang nantinya bakal hidup happy? Kalo kit lihat apa yang mereka kerjakan, tentu yang bakal happy, baik di dunia maupun di kehidupan berikutnya (akhirat) ya jelas Abege B.

Dua sikap di atas menunjukkan pada kita, sebetulnya hidup nyar’i (hidup berdasarkan Syariat Islam) itu membuat manusia jadi lebih bermakna, terarah, dan happy ending (husnul khatimah). Sebaliknya, jika nggak mau hidup nyar’i kita nggak happy alias sad ending (suul khatimah). Tentunya kasus abege A, bukanlah final. Manusia kan berproses, jika dalam perjalanan, si Abege A ada upaya dia untuk berubah dan dia memilih untuk berubah, tentu dia pun berpeluang happy ending. Hanya saja, perlu ditekankan apakah dia mau memilih untuk berubah atau nggak. Allah memang memberikan pilihan pada manusia apakah mau taat atau tetap bermaksiat. 



“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanya.” [TQS. Asy-Syam (91): 8]
Contoh di atas baru hidup nyar’i secara individu. Hidup nyar’i individu aja udah enak banget kelihatannya. Nah, permasalahannya tidak selesai sampai di individu. Ketika individu sudah milih hidup nyar’i, nggak ujug-ujug atau otomatis masyarakat dan kehidupan bernegara jadi nyar’i. Jika melihat kenyataan di masyarakat dan negara kita saat ini, hidup yang benar-benar nyar’i (Islam kaffah/totalitas) belum terlihat sama sekali.

Kini kita masih melihat fakta masyarakat kita yang sakit yang rasanya semakin hari semakin tambah rusak. Perzinaan dianggap lumrah, hamil di luar nikah dianggap trendi. Pacaran dianggap keren. Masyarakat kita sudah kehilangan kontrol sosial. Kita hidup serba permisif. Dengan dalih kebebasan dan hak asasi, semua jenis maksiat bebas dilakukan.

Pun dalam kehidupan bernegara. Negara kita makin amburadul. SDA-nya nyaris begitu mudahnya diperebutkan layaknya seperti hidangan yang sudah tersaji di meja makan. Para perampok itu sudah mengkapling-kapling kekayaan kita. Sementara pemerintah nggak bisa berbuat apa, malah mirisnya merekalah yang jadi corong untuk memuluskan perampokan SDA kita.

Itu hanya satu dua kasus saja. Masih begitu bejubel kasus masyarakat dan negara yang semuanya berujung pada cara hidup kita yang nggak nyar’i. Sehingga kita pun benar-benar berada di ambang kehancuran. Kita hancur dan menjadi umat yang terhina karena perbuatan kita sendiri, yaitu maksiat karena nggak mau hidup nyari’i. Kerusakan yang kita alami sudah multidimensi, baik itu fisik maupun nonfisik, dan dalam pelbagai lini kehidupan.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [TQS. Ar-Ruum (30): 41]
Karena itu, sudah sepantasnya kita merenung, mau sampai kapan kita hidup nggak nyar’i? Mau sampai kapan kita hidup nggak happy-happy? Yuk, segeralah kita Kembali, KEMBALI DENGAN SEPENUH HATI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar